Wednesday, June 30, 2010

Language

Gender dalam Bahasa Indonesia 
disampaikan oleh Hein Steinhauer dalam kuliah umum Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia


Dalam sebuah kuliah umum, Hein menjelaskan tentang penggunaan kata-kata yang mengandung gender baik dalam bahasa Indonesia dan perbandingan contohnya dengan sistem kata ber-gender dalam bahasa asing. Menurut saya, sistem bahasa suatu daerah atau negara sangat erat kaitannya dengan kultus budaya yang dianut dan dipahami masyarakatnya. Namun Hein hanya menjelaskan faktor penyebab penggunaan gender dalam bahasa dari segi semiotik dan linguistiknya saja.


Dalam bahasa asing, misalnya bahasa Belanda, sebuah kata dilansir memiliki jenis kelamin. Dengan penggunaan kata sandang “de” atau “het”, artinya telah mendikotomikan sebuah kata untuk memiliki gender. Namun yang menjadi pertanyaan saya sesudahnya adalah: jika kata-kata yang menggunakan kata sandang tersebut diubah ke dalam bentuk pronomina/kata ganti orang ketiga, mengapa pronomina yang tersedia hanya sebatas “hij” (maskulin) dan “het” (netral)? Sepanjang apa yang saya pelajari dalam bahasa Belanda, tidak ada kata ganti “haar” (feminin) untuk pronomina berkata sandang “de/het”. Saya menyimpulkan bahwa dalam bahasa Belanda pun masih terdapat ketidaksetaraan gender. Hein mengungkapkan bahwa beliau juga tidak mengetahui apa sebabnya kata ganti feminin tidak dipakai atau digunakan. Hein mengatakan sulit untuk mengetahui apakah sebuah benda itu maskulin atau feminin baik dari bentuk fisik maupun makna.


Dalam bahasa Indonesia sendiri, menurut saya, penggunaan gender maskulin dan feminin sangat mudah dipahami dan dilihat. Penggunaan kata sapa untuk perempuan (ibu, nyonya, nona, mbak, dsb) sangat berbeda dengan penggunaan kata sapa laki-laki (bapak, tuan, mas, dsb). Bahasa Indonesia menggunakan perumpamaan ibu atau perempuan untuk idiom-idiom tertentu, contohnya ibu jari, ibu kota dan ibu pertiwi. Ibu jari artinya jempol/jari yang paling besar, ibu kota artinya kota terbesar/terpusat dari suatu daerah, dan ibu pertiwi artinya negeri/tanah air. Mengapa yang digunakan adalah kata feminin (secara makna) dan bukannya kata maskulin (ayah jari, bapak kota, bapak pertiwi)? Ternyata penggunaan kata “ibu” dalam tiga contoh tadi disebabkan karena pemuliaan perempuan dalam masyarakat. “Ibu” dianggap sosok yang mulia, besar, mengayomi dan memang karakternya sesuai untuk tiga makna tadi. Jadi, penggunaan kata feminin untuk ketiga frase di atas disesuaikan dengan sifat dan ciri dari “ibu”.


Jika idiom yang menggunakan kata feminin seperti yang disebutkan di atas berdasarkan sifat dan ciri karakternya, maka berbeda dengan frase yang menggunakan kata maskulin. Contohnya, bapak pembangunan, bapak koperasi dan bapak negara. Kata “bapak” digunakan tidak untuk mewakili makna yang tersirat melainkan tersurat, baik secara ciri fisik ataupun karakter. Inilah yang membedakan penggunaan gender kata dalam berbahasa. Saya menyimpulkan kata feminin lebih sering digunakan untuk idiom atau ungkapan, sedangkan kata maskulin digunakan untuk makna yang tersurat.


Saya melihat penggunaan perbedaan gender dalam kata/frase/idiom bahasa Indonesia tidak sekental/mutlak seperti dalam bahasa asing lain, yakni Belanda, Rusia, Swahili, Jerman dan Perancis. Sepertinya bahasa Indonesia masih lebih menerima perbedaan itu walau terkadang masih menggunakan kata feminin untuk suatu ungkapan. Mungkin itu merupakan suatu penghormatan untuk sosok perempuan atau memang kata feminin tersebut lebih dekat dengan masyarakat dan budayanya.


-19 November 2009-

Friday, June 25, 2010

Verhaaltje (2)

Sang Pelukis Senyum

”Tersenyum yang manis, biar dunia lari ke sinar cerah,” [Naif]



Api menari-nari pada sumbu hio, mendalang bayang-bayang genting pada dinding kayu tak berpelitur. Sesekali angin ikut memainkannya, membuatnya meliuk melikuk kikuk bersama debu lalu dan tergelitik.

”Hatchuuuu!”

Bersin Kim baru saja membuyarkan lamunanku. Aroma dupa yang dibakar merasuki hidungku. Aku menatap ke arah Kim. Udara tidak cukup dingin untuk meletuskan sebuah bersin dari pangkal hidungnya. Namun dalam semburat cahaya siang, debu terlihat menggerayang di sekelilingnya.

Kim berdiri geming, hening menyayupi. Dia merapatkan kedua telapak tangannya dan menempelkan ujung-ujung jarinya ke bibirnya yang tipis. Kepalanya menunduk dan matanya tetap terpejam. Sesekali dia berdengum panjang, ”Oooooooom....”

Aku selalu bisa menemukan Kim di situ, vihara kecil di sudut jalan pecinan yang selalu sepi. Sebuah sungai meretas usia di depannya, menjadi teman bagi kuil yang hampir ditinggalkan.

Ya, saat aku tak bisa menemukannya berjaga bersama Encik Mai di kedai mie seberang sungai, aku tahu dia pasti sedang menenangkan diri dalam sembahyang.

Kim menengadahkan kepalanya dan membuka matanya, menatap sebuah patung porselen yang dua kali lebih tinggi darinya. Aku tidak tahu dewa apa yang berdiri dihadapannya; laki-laki berjanggut panjang dengan kelopak mata berwarna merah. Bibirnya yang juga merah mengulas senyum. Jubah kuning dengan benang-benang emas menyelimuti kemegahannya. Seorang dewa kaya raya yang sangat ramah, pikirku.

Kim mengusap wajahnya dengan tangan-tangannya yang terbuka. Dia mengakhiri doanya dan berbalik sembari kaget melihatku.

”Aku selalu tahu tempat pelarianmu saat kau menemui jalan buntu, Kim,” mulaiku.

Kim hanya tersenyum dan hampir melenyapkan sekelumit mata yang tersisa dari wajah kuningnya.

”Jangan melempar senyum kepadaku, aku tahu kau sedang tidak bisa melakukan itu,” tukasku.

Lagi-lagi Kim tersenyum.

”Mengapa kau selalu saja marah, To?” tanyanya dengan nada sabar.

Sejujurnya aku tidak marah. Aku hanya merasa tertekan. Bagaimana kau bisa merasa tenang ketika sebuah masalah besar sedang bermain-main dalam hidupmu, Kim? Dan dia hanya tersenyum menghadapinya. Itulah yang kusuka darinya, Kim sangat sabar dan berhati lapang. Dia tidak pernah menangis. Tapi itulah yang kutakutkan darinya, pribadi yang terlalu kuat hati.

Sekali saja dalam hidupmu, menangislah di pundakku. Akan kuberikan pundakku yang terlalu lapang ini untuk menjadi sandaran kepalamu dan resapan air matamu. Menangislah, sebagai tanda kau manusia biasa sepertiku. Menangislah, Kim! Aku tahu masalah yang kau hadapi sangat pelik dan rumit, pasti kau ingin berteriak, berlari ke tempat sempit dan gelap, lalu mengejar kencang hingga habis suaramu, lalu akhirnya kau pun menangis.

”Tidak, semua akan baik-baik saja, To. Kau harus yakin. Cepat atau lambat aku pasti akan bisa keluar dari labirin ini. Berusahalah untuk tetap hidup dan percaya.”

”Masih ingat kisah pewayangan yang kau ceritakan itu?” lanjutnya pelan. ”Masalahku ini belum seberapa dengan apa yang telah dialami oleh Drupadi. Setidaknya aku tidak ditelanjangi bulat-bulat. Aku hanya dipermalukan dengan celaan dan tuduhan yang keluar dari lidah-lidah bercabang yang terus mendesis. Bukan harga diriku yang dicarut, hanya sebuah nama yang melekat sejak lahir.”

Oh, aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan wataknya. Entah aku harus berkata apa, atau memikirkan apa.



Kim selalu menjadi pelukis senyumku saat aku lupa bagaimana caranya tersenyum, saat aku tidak tahu untuk apa aku tersenyum atau mati rasa untuk merasakan sebuah senyuman. Sedangkan Kim yang selalu tersenyum, nampaknya tak butuh seorang pelukis senyum. Garis lengkung yang indah selalu menyimpul pada bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang bisa mengobati hati yang terluka. Sebelum aku tersenyum, dia sudah tersenyum terlebih dulu. Lagipula, siapa yang bisa menjadi pelukis senyum bagi seorang pelukis senyum?

”Yakin kau tidak ingin menangis, Kim?”

Kim menggeleng pelan dan tersenyum, ”Aku masih kuat.”

Aku menggenggam tangannya yang dingin. Sekali lagi Kim telah melukis sebuah senyum yang tadinya tidak ingin kutunjukkan. Tapi karena dia, aku tersenyum untuk sebuah harapan.



***



Nafasku terengah-engah. Seperti dugaanku, aku pasti bisa menemukan Kim di dalam vihara di seberang kedai mie milik Encik Mai.

”Kim, kau memenangkan perkara ini!” teriakku senang.

Aku menghampiri Kim dan dia langsung memelukku erat. Di wajahnya tergurat rona bahagia dan puas. Aku balas memeluknya dan tinggiku membuatnya sedikit terangkat dari tanah.

Kali itu adalah pertama kalinya aku melihat Kim menangis sambil tersenyum. Apakah akhir dari masalahnya yang telah membuat dia menangis haru atau aku terlalu erat memeluknya hingga dia kesakitan?

Aku melihat ada danau di mata Kim. Sekelumit mata sipit dengan sedikit bulu yang menjulang di tepinya memantulkan binar langit. Bendungannya luber dan membanjiri pipi gembil yang merona merah.

Kim menangis dengan senyum yang perlahan pudar. Garis bibir yang melengkung perlahan mencembung, dan senyumnya pun lenyap. Rasa khawatir menjalari romaku. Tangis Kim makin lama makin besar. Aku memeluknya semakin erat, berharap dia tenang dan membiarkan kemejaku menjadi asin. Kim tersengguk-sengguk. Aku membawanya duduk dan menyandarkan kepalanya ke bahuku.

”Aku sudah tidak bisa lagi menjadi kuat,” ucapnya lirih. ”Tidak bisa,” ulangnya.

Aku menepuk-nepuk pundaknya, membelai rambutnya yang sangat halus, dan tidak menghentikan tangisannya. ”Teruslah menangis,” kataku. ”Sampai kau tidak bisa menangis lagi.”



***



Aroma dupa memenuhi ruangan. Api-api pada sumbu-sumbu hio bertapa tanpa seruan: ”Oooooooom....”. Mengingat pertemuan terakhir dengan Kim selalu membuatku menitikkan air mata dan mengguratkan senyum.

”Lihat sekarang siapa yang menjadi pelukis senyum?” goda Kim kala itu setelah menangis. ”Kau salah Darto jika menganggap seorang pelukis senyum tak butuh pelukis lain untuk melukis dirinya.” Kim bersandar lunglai di bahuku. Tangannya semakin dingin. Rona merah di pipinya memudar. ”Kau adalah pelukis senyumku,” lanjut Kim. Lalu dia memejamkan matanya dan tertidur dalam damai pertapaan. Hingga saat ini, Kim tak pernah lagi terbangun.


27/3/2010, 03:08
Saat malam menjamah nadir

-Hippolyta-

Verhaaltje

Sebuah Pertemuan Saat Gerimis Abu 


Langit semakin kelabu. Kepalaku bersandar pada kaca bis yang dipenuhi bulir-bulir air hujan. Aku sedang menempuh perjalanan menuju sebuah desa terpencil, tempat tinggal seorang dukun aborsi yang sangat tersohor.

Keputusanku sudah bulat. Perutku mulai terlihat besar. Kehamilanku sudah memasuki usia dua bulan. Sebenarnya, kehamilan ini tidak pernah aku inginkan. Aku melakukannya dengan pacarku. Jelas kami mengakui, melakukan itu atas dasar suka sama suka. Tetapi setelah semua kenistaan itu terjadi, dia tidak bisa kuhubungi. Berminggu-minggu dia tidak pernah mengabariku lagi. Dia seolah-olah menghilang ditelan bumi. Semua janjinya untuk mempertangungjawabkan apa yang telah kami perbuat, hanyalah sebuah bayangan tak bertuan. Perlahan semua harapan dan cinta yang kuberikan kepadanya berubah menjadi keputusasaan dan kebencian yang keruh. Tidak ada lagi hasrat di diriku. Aku sangat membencinya dan akan mengubur semua cinta dan kenangan tentangnya, termasuk jabang bayi di rahimku ini.

Gerimis menemani perjalananku. Langit abu-abu terbingkai oleh kaca jendela bis. Bis antarkota yang kutumpangi berhenti di sebuah terminal. Aku memperhatikan para penumpang yang telah mengantri di depan pintu bis. Satu per satu mereka masuk dan menempati kursi yang kosong. Kursi di sampingku masih kosong.

Tak lama seorang ibu separuh baya duduk di sampingku. Dipelukannya tertidur seorang balita yang usianya mungkin masih sekitar dua tahun. Gadis kecil itu tidur dengan sangat pulas. Tangannya yang mungil mendekap boneka teddy bear ke dadanya. Pipinya merona merah akibat udara dingin. Ibunya terlihat kesulitan mengangkat tas bawaannya ke dalam kabin bis. Aku bangun dan membantu ibu itu. Kumasukkan tasnya ke dalam bagasi dan mempersilakannya duduk.

“Terima kasih, De,” katanya tersenyum.

“Sama-sama, Bu,” balasku dengan senyum.

Ibu itu duduk. Kini kursi penumpang yang kutempati menjadi lebih sempit dari sebelumnya karena antara aku dan ibu itu terdapat tas bayi miliknya. Namun bagiku itu tidak masalah. Toh sebentar lagi aku akan turun di tempat tujuan.

“Maaf ya, De, kalau jadi sempit,” kata ibu itu tiba-tiba.

“Oh, nggak kok, Bu. Sama sekali nggak sempit,” balasku dengan penuh keramahan. Batinku tersentak, bagaimana dia tahu kalau aku sebenarnya merasa sedikit lebih sempit dari sebelumnya?

“Turunnya di mana, De?” tanyanya.

“Ehm, sebentar lagi, Bu. Tinggal dua terminal lagi dari sini. Kalau ibu turun di mana?”

“Saya mau ke Solo. Nganterin si kecil ketemu kakeknya.” Ibu itu menunjuk gadis kecil itu dengan dagunya.

Aku memperhatikan detail wajah ibu itu. Meskipun sudah banyak kerutan di wajahnya, parasnya masih nampak lembut bagiku. Senyumnya ikhlas dan suaranya sangat lembut. Rambutnya sudah sedikit beruban. Dalam hati aku mencoba mereka-reka usia ibu itu. Mungkin sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Dengan usia segitu, tidak mungkin bocah yang sekarang mendekap di pelukannya adalah anaknya.

Pasti cucunya, kan tadi dia bilang mau mengantar si kecil ke kakeknya.

Anak itu kemudian menggeliat kecil, namun masih terlelap.

“Dingin ya, nak?” ucap ibu itu kepada “cucunya” dan merapatkan jaket yang melekat di tubuh si mungil.

“Cucu ibu umurnya berapa?” tanyanku.

Ibu itu tertawa kecil.

“Ini anak saya, De. Umurnya udah mau dua tahun.”

“Oh, maaf, Bu. Saya pikir cucu ibu.”

“Nggak apa-apa kok, De. Banyak orang yang menyangka dia adalah cucu saya. Usia saya sudah kepala empat tapi baru dikaruniai anak dua tahun yang lalu.”

“Maaf kalau saya sudah bikin ibu tersinggung.”

“Oh, tidak apa-apa, De. Saya senang bisa berbagi cerita dengan Ade sepanjang perjalanan ini. Daripada melamun.”

“Hehe…”

“Saya menikah dengan suami saya waktu umur saya dua puluh delapan tahun. Tadinya saya bekerja di perusahaan ternama dan sangat menikmati pekerjaan saya. Tapi karena saya dan suami mau cepat-cepat punya keturunan, saya berhenti dari pekerjaan saya. Setelah kami menunggu-nunggu, di rahim saya belum ada juga tanda-tanda, De. Sedih sekali. Saya pikir mungkin memang belum waktunya. Sampai saya ikut banyak terapi, tapi belum berhasil juga. Sampai akhirnya waktu tidak terasa sudah berlalu dua belas tahun. Tadinya saya pikir mungkin memang ada kelainan di rahim saya yang tidak memungkinkan adanya pertumbuhan janin.”

“Kenapa begitu, Bu?”

“Karena dulu saya pernah operasi pengangkatan kista rahim.”

“Oh. Ibu kan sangat ingin sekali punya anak. Kenapa tidak coba adopsi anak saja, Bu?”

“Yang saya inginkan adalah anak keturunan saya, penerus saya, pewaris saya. Mungkin saya terlalu idealis, tetapi menurut saya anak-anak di panti asuhan itu bukan tanggung jawab saya. Memang terdengar egois. Jika mereka dibuang oleh orang tua yang tidak menginginkan mereka, itu adalah tanggung jawab orang itu. Bagaimana kalau kejadiannya saya sudah terlanjur sayang dengan anak adopsi saya dan tiba-tiba suatu hari datang ibunya memohon-mohon pada saya, meminta kembali anak yang pernah disia-siakan kemudian bilang bahwa dia sangat menyesali perbuatannya. Seperti yang sering kita lihat di reality show. Itu akan sangat lebih menyakitkan, De.”

Mendengar perkataan ibu itu, pandanganku bergidik sesaat ke luar jendela. Aku tidak tahu apakah topik pembicaraan ini tepat atau tidak. Aku kurang menyukai arah pembicaraan ini. Semua cerita dan perkataannya membuat jantungku berdegup semakin kencang. Bahkan aku takut dia bisa mendengar detaknya di tengah deru mesin di bawah kami. Kemudian aku sadar bahwa aku sedang diombang-ambing kegalauan.

Satu terminal sudah terlewati. Aku tinggal menunggu satu terminal lagi dan perjalananku dengan bis itu akan berakhir. Kebencian dan rasa maluku juga akan berakhir di sana.

“Ade, mau liburan?” tanya ibu itu melanjutkan.

Deg!

Jantungku seakan terpaku oleh pertanyaannya. Hidungku pun tidak bisa merasakan tarikan napas. Tenggorokanku seolah menjadi gersang.

“Ehm, saya mau… tidak… bukan liburan, hanya mengunjungi teman lama.”

“Oh… Masih kuliah atau sudah kerja?”

“Sudah kerja, Bu.”

“Sudah menikah?”

“Ehm, belum. Hehehe.”

“Berarti punya pacar dong? Masa gadis secantik Ade belum punya pacar?” ibu itu bertanya dengan nada menggoda. Pertanyaannya sangat menggangguku. Namun aku tidak melihat maksud tidak baik di matanya. Ini hanyalah sekadar obrolan kacangan untuk menemani perjalananku dan dia.

“Haha, Ibu bisa aja. Saya udah nggak ada pacar lagi kok, Bu.”

“Hehehe. Saya doakan Ade cepat dapat pacar yang baik, yang bertanggung jawab dan pengertian. Ketika sudah nikah nanti, cepat punya anak. Hehehe. Itu kan harapan semua perempuan untuk menjadi wanita seutuhnya.”

Perasaanku semakin tak bisa kupilah. Di sebagian diriku, aku bisa merasakan kemarahan karena singgungan ibu itu. Tapi di sebagian diriku yang lain, aku merasakan kakalutan menyelimuti. Hatiku teriris kemirisan.

Dia tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan orang tuaku pun tidak tahu. Memang aku belum menikah, tapi aku sedang mengandung. Aku hamil dan jabang bayi yang ada di rahimku ini adalah anak dari laki-laki bajingan pengecut dan brengsek! Laki-laki yang hanya ingin menikmati tubuhku sesaat dan menjadikan aku sebagai objek seksual semata.

Keadaan sudah kembali tenang. Entah pikiran apa yang memengaruhiku, aku memberanikan diri menanyakan hal yang selama ini kusebut keputusan.

“Bu, boleh saya tanya sesuatu?”

“Iya, tentu saja boleh selama saya bisa jawab.”

“Bagaimana kalau seandainya ibu… atau saudara… atau teman ibu…ehm… hamil di luar nikah? Sedangkan kalian atau mereka tidak menginginkan anak itu, karena takut menanggung malu?”

“Ehm, susah juga ya… kalau saya sih, sebisa mungkin menghindari hamil di luar nikah, tidak melakukan hubungan sebelum saatnya. Tapi toh kalau pun itu tidak terhindari juga, ya saya akan tetap mempertahankan anak itu, meski tanpa ayah.”

Aku diam, masih berharap ada kalimat lain yang diucapkannya.

“Yang jelas, saya tidak akan aborsi. Itu perbuatan yang terkutuk, De. Bayangkan jika Ade melihat ke posisi orang-orang yang sangat menginginkan anak tapi tidak bisa. Ya… yang seperti saya ini. Saya harus menunggu dua belas tahun untuk punya anak, lho! Di luar sana, saya yakin ada banyak perempuan seperti saya. Makanya, sayang sekali kalau harus membuang-buang karunia Tuhan padahal untuk membuat anak lagi belum tentu bisa langsung jadi. Saya sendiri heran… kenapa ada saja orang yang melakukan aborsi padahal ada banyak pasangan yang susah punya keturunan. Kalau mereka malu, ya itu toh akibat yang harus mereka pertanggungjawabkan dari perbuatan mereka. Bukan dengan cara menukar nyawa bayi yang berharap dilahirkan ke dunia ini dengan kenistaan seperti itu.”

“…”

“Kenapa Ade tanya begitu?”

“Ehm, nggak, Bu. Ada teman saya yang punya masalah seperti itu.”

Bohong Besar! Yang mengalami masalah itu bukan teman, tapi aku. Benar. Seharusnya aku berpikir, banyak orang yang tidak bisa punya anak, tapi sangat menginginkan anak. Bahkan mereka rela melakukan apa saja untuk mendaparkan keturunan. Sedangkan aku malah akan pergi ke dukun beranak dan menghancurkan janinku.

“Bisa minta tolong sebentar? Tolong pangku anak saya sebentar. Saya mau ambil botol susunya di tas kabin.” Ibu itu menyerahkan anaknya dan tersandar di pangkuanku. Tanganku mengambil posisi yang nyaman untuk anak itu. Satu tanganku merangkul lehernya, dan satu tangan yang lain menepuk-nepuk pahanya yang gempal dengan lembut.

Hatiku membatin. Beginikah rasanya menimang seorang anak? Entah bagaimana, tapi aku merasakan kehangatan saat sedang memangku anak ini… dia seperti memberikan kedamaian. Bunga senyumnya menghiasi wajah mungilnya saat tidur. Sangat damai dan hangat…

Ada yang salah denganku. Aku tidak pernah menyadari bahwa aku terlalu egois. Aku telah dibutakan oleh kebencian akibat cinta. Aku tidak pernah mau mempertanggungjawabkan kesalahanku dan selalu lari dari masalahku. Aku putus asa dan tenggelam di dasarnya. Aku hina dan akan lebih hina jika aku tidak mengubah keputusanku. Aku terlalu angkuh dan yakin bahwa aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Ternyata aku salah.

Salah.



***



Bis sudah sampai di terminal yang aku tunggu. Aku turun dan menjejakkan kakiku di tanah yang basah. Aroma tanah basah menjelajahi relung kosong di paru-paruku. Aku berdiri di samping bis, berjalan menyusuri jendela bis yang panjang, menuju tempat aku duduk tadi.

Di sana aku melihat bayangan diriku tertinggal. Anak kecil itu sudah bangun dan melambaikan tangannya kepadaku. Ibunya juga memberikan senyum yang penuh dengan keramahan. Mesin diesel menderu. Bis melanjutkan kembali perjalanannya. Kami terus melambaikan tangan. Udara dingin menyadarkanku, setetes air mata membeku di pipiku. “Terima kasih!” teriakku. Bis itu semakin jauh, ibu dan anaknya juga semakin menghilang dari pandanganku.

Aku berbalik, mengamati terminal yang sepi karena gerimis abu. Kemudian aku melangkahkan kakiku mantap ke salah satu deretan bis yang harus kunaiki berikutnya.

“Ke Jakarta, Bang?” tanyaku.

“Iya, Neng! Yok, Jakarta, Jakarta! Terminal Kampung Rambutan, Pinang Ranti, Pulo gadung! Jakarta!” seru kondektur bis.

Aku duduk dekat jendela. Gerimis abu terlihat cerah bagiku. Lagi-lagi air mata turun ke pipiku. Aku menekuk leherku dan tersenyum. Aku mengelus-elus perutku seraya berkata, “Maaf ya, Nak. Hampir saja Bunda kehilangan kamu.”

-Depok 2009-