Wednesday, December 21, 2011

Syair Putri Akal


Malam ini saya membongkar semua file yang ada di hard disk saya dan menemukan sejumlah makalah sewaktu saya kuliah. Saya pernah mengambil mata kuliah Tradisi Sastra Nusantara tahun 2009 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Ketika mendapat naskah kuno dan harus mengkajinya, saya mengalami sulitnya menemukan referensi dari internet. Karena pernah mengalami rasanya menjadi mahasiswa yang ketergantungan dengan sumber referensi internet, saya ingin membagi sedikit pemikirin saya tentang Syair Putri Akal yang saya tulis dalam makalah saya. 

            Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Struktur bentuknya mempunyai aturan tertentu dengan rima tertentu pula, yaitu terdiri dari empat baris, setiap baris berisi empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata.
            Syair Putri Akal merupakan sebuah naskah kuno yang diperkirakan berasal dari daerah Riau yang lebih dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu. Esensi dari Syair Putri Akal mengandung ajaran moral yang baik dan dipakai sebagai contoh untuk studi penelitian yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian dunia, yaitu studi kajian wanita.


Ringkasan Cerita 

Di sebuah negeri bernama Belantadura hiduplah seorang putri cantik jelita dan cerdik bernama Putri Akal. Usianya baru empat belas tahun. Akan tetapi kecantikannya terdengar sampai ke seluruh penjuru Negeri. Raja Muda Damsik mendengar kabar tersebut. Raja Muda tertarik dan hendak melamar Putri Akal. Setelah ia mendapat izin dari kedua orang tuanya, ia pun berlayar menuju Belantadura dan langsung menghadap Baginda Sultan Bijakbestari untuk melamar Putri Akal. Karena belum ingin menikah, Putri Akal menolak pinangan Raja Muda.
            Raja Muda merasa sedih dan kecewa. Kemudian dia menghibur diri dengan bermain-main bersama patung boneka emas miliknya yang sangat indah dan pandai menari. Putri Akal tidak sengaja melihat boneka emas Raja Muda tersebut. Dia sangat menginginkan boneka itu. Lalu Putri Akal pergi menemui ayahnya dan mengatakan bahwa ia bersedia menjadi istri Raja Muda Damsik. Namun Baginda Raja menolak keinginan putrinya itu. Akhirnya Putri Akal mencari akal agar dapat memiliki boneka tersebut.
            Putri Akal menyuruh Dayang Puspa Candra untuk menyamar sebagai dirinya dan merayu Raja Muda Damsik supaya memberikan boneka emas untuk Putri Akal. Raja Muda berjanji akan memberikan boneka tersebut jika Putri Akal datang lagi keesokan harinya. Malam harinya, Putri Akal menyuruh dayangnya untuk kembali ke persinggahan Raja Muda.
            Putri Akal berhasil mendapatkan boneka emas. Akan tetapi Raja Muda tahu bahwa dia sedang diperdaya oleh Putri Akal. Ia pun melamar Putri Akal kembali dan pinangannya diterima. Raja Muda akhirnya menikah dengan Putri Akal. Sebulan setelah pernikahan, Raja Muda memutuskan untuk membawa Putri Akal ke kerajaannya. Putri Akal sangat mencintai suaminya. Namun sebaliknya, Raja Muda hanya berpura-pura mencintai Putri Akal dan dalam hatinya sangat membenci Putri Akal.
            Di tengah perjalanan, secara tiba-tiba Raja Muda menghardik istrinya dan mengatakan tidak sudi lagi kepada Putri Akal. Kemudian ia menyerahkan Putri Akal kepada Lamat, budak Raja Muda Damsik, untuk dijadikan istri.
            Sesampainya di Negeri Damsik, Raja Muda menikahi Putri Datuk Bendahara. Sedangkan Lamat dan Putri Akal diberi tempat tinggal di bawah istana. Raja Muda menyuruh Lamat untuk tidak segan-segan menggauli Putri Akal. Akan tetapi Putri Akal selalu berhasil melepaskan diri untuk tidak tidur dengan Lamat. Suatu hari Putri Akal telah kehabisan akal untuk menghindari ajakan Lamat. Akhirnya dia membuat perjanjian dengan Putri Bendahara untuk bertukar kamar dengannya setiap malam. Putri Bendahara setuju dan dia mendapatkan boneka emas milik Putri Akal.
            Sesuai perjanjian, Putri Akal dan Putri Bendahara bertukar tempat setiap malam. Raja Muda tidak pernah menyadari hal itu. Sebaliknya, Lamat mengetahui tindakan kedua putri itu namun dia pura-pura tidak mengetahuinya. Beberapa lama kemudian, kedua putri itu melahirkan. Putri Akal melahirkan seorang anak lelaki yang wajahnya mirip Raja Muda. Sedangkan anak lelaki Putri Bendahara wajahnya sangat mirip dengan Lamat.
            Suatu hari, ketika Raja Muda sedang bermain-main dengan anak Putri Bendahara, datanglah putra Putri Akal ke istana. Tiba-tiba putra Putri Bendahara berkata bahwa dia sebenarnya adalah anak Lamat dan anak Lamat yang saat itu adalah putra Raja Muda. Raja Muda tidak percaya. Putri Bendahara sampai bersumpah dan memanggil Putri Akal.
            Setelah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, Raja Muda sangat marah. Ia mengusir Lamat dan Putri Bendahara dari Istana beserta putranya. Kemudian Raja Muda mengajak anak kandungnya dan Putri Akal untuk tinggal di istana. Namun Putri Akal menolak sinis. Raja Muda pun meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah dia lakukan terhadap Putri Akal. Setelah itu, Putri Akal dan Raja Muda hidup bahagia sepanjang sisa hidup mereka.

Isu gender sudah ada jauh sebelum pergerakan perempuan menyuarakan kesetaraannya. Hanya saja sedikit dari perempuan yang hidup di masa lampau belum mau menyadari ketidakadilan yang diterima dari lawan gendernya. Namun, beberapa dari kisah mereka biasanya diceritakan dalam bentuk sastra, salah satunya syair Putri Akal ini. Sangat menarik membahas isu gender yang terdapat dalam naskah syair ini karena tersurat dengan jelas dan kental akan ketidak setaraan perempuan di masa lampau yang masih istanasentris.

NOTE: Ini adalah hasil pemikiran orisinal Happy Indah Nurlita Goeritman, M. Adi Nugroho, Nastasia Novita, Nerissa Rachmania, Nurul Fitriany, dan Nurul Handayani yang merupakan kekayaan intelektual penulis dan tim pemikir. Mahasiswa atau Pelajar yang meng-copy-paste tulisan ini akan bertanggung jawab kepada moral diri sendiri. (shame on you, copy-paster!)

Ekplorasi Seksualitas Perempuan dan Feminisme dalam Sastra


             Kalian mungkin sudah membaca novel Saman karya Ayu Utami, Jangan Main-main dengan Kelaminmu atau Naila dari Djenar Maesa Ayu. Beberapa orang akan sangat menikmati buku tersebut dan menganggap gaya penceritaan yang digunakan sangat ekpresif, indah dan berani. Mereka adalah penulis yang cenderung mengeksplorasi seksualitas perempuan namun tetap mengangkat tema yang berkaitan dengan perempuan.
            Sebenarnya, feminisme adalah sebuah gerakan yang merupakan reaksi dari ketidakadilan gender yang terjadi menjelang masa pencerahan. Pada masa itu disebut dengan feminisme klasik yang merupakan doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Kemudian lahirlah para penulis perempuan yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan emansipasi wanita sebagai bentuk perjuangan untuk kesetaraan gender dan mematahkan sebuah dekonstruksi sosial yang mengikat perempuan secara kultural dengan sistem dan budaya patriarki.
            Seiring berkembangnya zaman, pemikiran perempuan pun berkembang. Feminisme klasik terus berkembang menjadi feminisme radikal, moderen dan posmoderen. Kaum feminisme posmoderen sangat persuasif terhadap penulis perempuan untuk menulis tentang seksualitas perempuan dalam karya sastra, sehingga muncul istilah ”sexts” yang merupakan akronim dari sex dan text. Mereka menganggap bahwa seksualitas yang dimiliki perempuan lebih menarik dan tidak membosankan ketimbang mengeksplorasi seksualitas laki-laki yang dinilai tidak banyak dan membosankan.
            Akibat dari pemikiran kaum posmoderen ini, banyak penulis perempuan yang menulis dengan mengeksplorasi seksualitas perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem dan budaya patriarki yang telah sekian lama mendominasi di masyarakat. Adegan seks dan seksualitas perempuan dideskripsikan secara detil. Mereka memang mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan emansipasi perempuan dan kesetaraan untuk perempuan, namun semangat mereka yang menggebu-gebu untuk memperjuangkan itu justru menjadikan tubuh perempuan sebagai objek seks, bukan subjek seks.
            Mungkin maksud para penulis perempuan ini sangat baik, yaitu untuk mengangkat derajat perempuan, menunjukkan bahwa perempuan memiliki kuasa atas tubuhnya dan inisiatif dalam melakukan hubungan seks. Sebaliknya, menurut saya hal ini justru akan menunjukkan bahwa perempuan terlihat sangat rendah dengan menjadi objek seks. Mungkin beberapa kritikus menganggap bahwa penuturan seks yang lebih gamblang saat ini merupakan sebuah bentuk ekspresi perempuan moderen atau bahkan posmoderen dan tidak terlalu berpengaruh. Namun sebenarnya perempuan pun dapat berbicara tanpa mengeksplorasi seksualitas mereka secara berlebihan untuk menopang kesetaraan gender jika memang ada ketimpangan.
            Tergantung dari mana kita melihat permasalahan ini, melihat sastra sebagai bentuk kreativitas atau sebagai tombak perjuangan atas sesuatu.

Happy Indah Nurlita G.

Happy Cooking


RAINBOW YOGURT PARFAIT


One day when I had to do my cooking class for children, I was thinking about something simple, healthy and children do like the taste. The process of making should be different too. We have done baking, boiling, frying, and grilling. So I browsed in some kind of cooking recipes for children and found a recipe I haven’t made yet. Well it’s called Parfait. It’s a France thing and it’s pretty easy to make. Usually it only made from fruits and ice cream or with cream. But I decide to use yogurt.

So these are things I used for my yogurt parfait:
2 cups fresh strawberry, sliced
¼ cup almonds, chopped
1 can oranges
2 cups kiwi, cube sliced
1 cup vanilla yogurt (sometimes I use strawberry yogurt, depends on my mood)
200 ml liquid whipped cream
1 cup blueberry
2 cup dragon fruit, cube sliced
Chocolate or strawberry toping 



So this how I made:


1#step. Use a high speed mixer to stir whipped cream and yogurt in a big bowl. Stir them until it’s foamy enough. It won’t fall down if you turn the bowl back down.

2#step. We’re going to make layers from the fruits we have. First put the sliced strawberries as the first layer (in a big transparent bowl or glass, so you can see the beautiful layers you made). Afterwards, spoon yogurt whipped cream on top. Make the next layer with kiwis. Spoon yogurt whipped cream on top. Do it several times with oranges, dragon fruits and blueberries to make the layers. The pattern is fruit – yogurt – fruit – yogurt. 

3#step. Pour the last yogurt whipped cream on top when you’re done with the layers. Sprinkle with chopped almonds and add chocolate or strawberry toping. 

4#step. Enjoy your RAINBOW YOGURT PARFAIT.


Why it’s called parfait?
Parfait is French. It means layers. That’s why we make layers from fruit with patterns.


 note: I have NO picture or photo of this recipe cause my broken camera. Sorry. 

Wednesday, October 12, 2011

My Travel Notes: Krakatau (part 3 - End)

Puncak Anak Krakatau dari dekat: pasir, kerikil, batu gunung, dan kristal belerang. 


Never Stop To Be On Top
          Banyaknya pasir yang berulang kali masuk ke sepatu crocs saya dan membuat perjalanan saya tidak nyaman, memaksa saya untuk mendaki dengan bertelanjang kaki. Tekstur pasir yang halus di antara sela jari-jari kaki saya membuat kaki saya tidak terasa sakit, tapi malah terasa nyaman. Saya pun mulai berjalan menembus hutan paku yang menjadi gerbang menuju pertapaan sang legenda. Setelah menembus hutan, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pasir hitam dan tanaman gundul. Di depan saya, tentu saja sudah tampak punggung Anak Krakatau.

          Daratan landai lama-lama terasa semakin terjal. Untung saja matahari belum tinggi, jadi pasir tempat saya berpijak belum terasa panas. Lelah pun mulai terasa saat pendakian di kaki gunung. Dua kali saya menjejakkan langkah, satu kali saya tergelincir turun. Terang saja, tidak ada pijakan yang benar-benar padat. Tidak ada tanah keras atau pun bebatuan. Hanya pasir dan abu. Mendaki Anak Krakatau ternyata lebih berat daripada mendaki gunung bertanah padat atau pun menaiki 1000 anak tangga di Gunung Bromo.
Jalur pendakian: naik dua langkah, turun satu langkah. 

          30 Menit saya mendaki dengan napas tersengal-sengal dan hidung kembang kempis, sampai juga di puncak Anak Krakatau. Saya masih ingat kata pertama yang keluar dari mulut saya, “Akhirnya... bisa liat salju juga.”
          “Itu bukan salju, tapi belerang.” Jawab teman saya.
          Jika dilihat dari jauh, puncak krakatau memang tampak diselimuti salju tipis. Setelah saya pikir-pikir, benar juga. Mana mungkin ada salju di atas lapisan tanah yang di bawahnya terdapat cairan larva bersuhu ratusan derajat celcius. Mineral berwarna putih yang saya lihat itu ternyata adalah belerang yang telah mengkristal dan menjadi padat seperti batu. Sisanya, saya berdiri di atas jutaan ton pasir dan abu vulkanik. Wow! Unbelievable!
          Puncak yang saya capai sebenarnya bukan benar-benar puncaknya Anak Krakatau, tapi merupakan batas terdekat yang diperbolehkan untuk wisatawan. Demi keselamatan, berada tepat di atas puncaknya masih tidak memungkinkan mengingat Anak Krakatau bisa meletus kapan saja.
          It’s unforgettable! While I turned around, all I saw has amazed me. Dari puncak saya bisa melihat Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Hanya Pulau Rakata yang tak tampak karena letaknya berada di belakang kubah Anak Krakatau. Saya juga bisa menyaksikan cahaya matahari beringsut dari balik Pulau Panjang. Berdiri dan mengabadikan momen di puncak Anak Krakatau rasanya puas sekaligus tegang mengingat bahwa ada lahar yang bergejolak di bawah kaki saya. Dengan jantung yang terus berdegub kencang, seperti ketika sedang jatuh cinta pada seseorang, saya menikmati petualangan ini. I love this adventure! Beauty combined with adrenaline, it set me free!
          Setelah puas menghabiskan waktu dan berfoto di semua sudut puncak Krakatau, saya dan teman-teman harus kembali ke pantai untuk sarapan dan akhirnya kembali berlabuh. Kami pun segera menuruni bukit terjal yang terasa jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan mendaki, kembali menyusuri jalan setapak, dan menembus hutan. Tibalah kami di Pos Selamat Datang. Kami melahap sarapan lalu melipir ke pantai dan naik ke atas kapal.
          3 Jam waktu yang dibutuhkan dari Anak Krakatau untuk kembali ke Dermaga Canti. Sepanjang perjalan pulang, matahari terlalu terik untuk menemani saya duduk di atas kapal, sehingga saya memilih bale di belakang kabin nakoda. Karena kelelahan, saya tertidur pulas dalam buaian ombak hingga kapal merapat di Canti.
          Sesampainya di daratan, saya langsung mencari tempat kamar mandi umum karena badan saya sudah terasa sangat lengket dan asin. Kemudian saya dan teman-teman makan siang di warung makan sederhana yang sama saat kami pertama kali tiba di Canti. Beberapa mobil charteran sudah menanti kami dan siap mengantar kami kembali ke Pelabuhan Bakauheni. Kami pun naik dan satu jam kemudian tiba di pelabuhan.
          Dalam perjalanan pulang, waktu yang kami butuhkan untuk menyeberang tidak sampai empat jam seperti saat berangkat. Hanya dua jam ditambah menyaksikan pemandangan matahari tenggelam di ufuk barat, sampailah kami di pelabuhan Merak. Hello again, Java… kami pun sudah berada lagi di Pulau Jawa. Tanah kelahiran saya ^^
          This is one of my greatest adventures in my life (^^)b I met new friends, I learned to cope with my fears, I learned to defeat my dependency and went out of my homey cage. I satisfied my curiousity. I got more natural inspiration to write. I learned a lot from nature wise. I set my self free! And this can't be forgotten unless I got amnesia :p

~I hope the journey would never end, so no need to write "end" here~
Happy Indah NG
12/10/2011, 17:43 

My Travel Notes: Krakatau (part 2)

Dermaga Pulau Sebesi 

There’s a Life at Sebesi
          Puas melihat keindahan bawah laut di perairan Sebuku, kami kembali berlayar menuju pulau berpenghuni tempat kami akan bermalam, Pulau Sebesi. Pulau ini dihuni sekitar 20.000 jiwa yang kebanyakan dari mereka adalah penghuni asli gugusan pulau Krakatau dan sebagian lagi berasal dari Lampung.
Seorang penduduk yang memfasilitasi kami di pulau itu telah menunggu kami di dermaga Sebesi. Dengan berjalan kaki, ia lalu membawa kami ke pendopo tempat santap siang telah disediakan. Yummy, all are seafood! Lalu ia membawa kami ke perkampungan yang letaknya tak jauh dari dermaga. Itu bukanlah perkampungan padat penduduk. Dalam satu jalan hanya terdapat sekitar 20 rumah saja. Saya memilih rumah yang terdekat. Rumah putih dengan kamar yang telah dikosongkan dan ruang tamu disulap menjadi tempat yang layak untuk beristirahat. Penghuninya tinggal di bagian belakang rumah selama kami bermalam.
How about the electricity? There was no electricity before the sun goes down. Listrik bertenaga diesel hanya bisa diakses jam setengah enam hingga tengah malam. Setelah tidak bisa  mengakses listrik, mereka akan menggunakan chargeable lamp sebagai penerangan. Mata pencaharian penduduknya juga beragam; nelayan, bercocok tanam, menyewakan rumahnya kepada wisatawan, dan pedagang. Di pulau ini tidak ada pasar. Namun ada beberapa penduduk yang memang membuka warung rumahan dan hanya menjual kebutuhan barang seperti peralatan mandi dan mie instant. Ketika saya harus menulis tentang pulau sebesi dan kehidupan yang ada di dalamnya, tidak akan cukup jika saya tuangkan dalam tulisan ini karena banyak sekali hal menarik yang ingin saya ceritakan. So, Let’s move on the track.

Deep Blue Sea
          Menunggu matahari sedikit condong ke barat, saya dan teman-teman berteduh malas di bawah rindangnya pinus pantai. Terik matahari dihalau sejuknya angin laut, ditemani segarnya air kelapa yang kami seruput langsung dari buahnya. What a life!
Bangkai kapal nelayan di Pantai Sebesi, tak jauh dari dermaga dan pendopo tempat kami makan siang. 
 
          Pukul 3 siang, kami kembali ke kapal menuju titik penyelaman kedua. Lokasi snorkeling berikutnya sedikit lebih jauh dari pesisir pantai. Lautnya jelas lebih dalam dari sebelumnya. Jika sebelumnya saya bisa melihat warna-warni terumbu karang dari permukaan yang jernih, di lokasi berikutnya hanya laut biru yang dalam. Arusnya pun jauh lebih deras sehingga awak kapal harus menarik kami dengan tambang agar kami bisa kembali ke kapal. That time I failed to cope with my fear, just because of the stream. Saya akhirnya memutuskan tidak turun ke laut dan hanya menyaksikan keasikan teman-teman saya dari dek kapal.
          Tujuan akhir di penghujung hari adalah menikmati senja dan matahari terbenam di sebuah pulau kecil bernama Pulau Umang. Sering orang mengira ini adalah pulau eksklusif yang populer itu. No, it’s not! Ini hanya sebuah pulau kecil yang luasnya tidak sampai 500 meter, tidak berpenghuni, dan tidak ada resort. Kapal tidak bisa merapat ke tepi pantai karena karang di sekeliling pulau. Jadilah kami nyebur terlebih dulu dan berenang menuju tepian. Karena karang-karang di sana benar-benar tajam, sebaiknya tetap pakai alas kaki. Jika tidak, relakan saja kaki terasa perih setelahnya.
Pulau Umang dan pasir putih 

Pagar Karang di salah satu sisi Pulau Umang, Selat Sunda. 

Pulau Umang ini menjadi perhatian saya. Pasirnya tidak hanya putih tetapi juga halus seperti tepung. Batuan coral dan cangkang kerang yang saya temukan lebih beragam namun masih didominasi warna putih. Alam menyediakan semua keindahan untuk saya nikmati, termasuk untuk buah tangan. Jadilah sepanjang sore saya habiskan untuk memunguti cangkang kerang dan bangkai terumbu yang mungkin bisa saya jadikan pajangan di rumah atau akuarium. Begitu banyak yang bisa saya ambil hingga tangan saya tidak lagi bisa menampung, saya mencari plastik atau semacamnya yang mungkin terdampar di pulau itu.
As my friend said: nature provides all what we need and men keep throwing rubbish to the sea. Di bagian lain pulau, saya memang bisa menemukan keadaan yang sangat memprihatinkan. Sampah plastik, sterofoam, bungkus mie instant, kaleng cat, sandal, dan aneka sampah metropolitan lainnya bisa saya temukan dengan mudah. I had no words to say about it. Pulau Umang seperti koin, memiliki dua sisi yang berbeda: satu sisi pulau tampak sangat indah dan mempesona dengan pasir putihnya dan tebing karang yang dihantami ombak terus menerus, sementara sampah-sampah terdampar di sisi lainnya. Matahari pun perlahan tenggelam bersama kesedihan dan kekecewaan saya. Bukan karena pulau Umang melainkan orang-orang yang tidak pernah sadar kemana larinya sampah yang mereka buang. They think it’s just going to disappear without ending up somewhere. Stupid!
Menyaksikan matahari terbenam di Pulau Umang.

Sunset at Sunda Strait. Matahari mulai menghilang di balik gunung Pulau Sebesi. 

Bangkai Terumbu dan Kulit Kerang yang berhasil saya pungut selamat sampai ke kapal. Kulit saya pun jadi gosong.

Darkness fall, journey at the sea begins
          Dalam satu rumah memang hanya terdapat satu kamar mandi atau sumur. Jadi, ketika kami pulang ke penginapan lokal dengan tubuh lengket dan penuh pasir, kami masih harus mengantri untuk mandi. Listrik yang sudah menyala pun juga harus digunakan dengan bijak karena hanya akan disediakan hingga tengah malam. Kami harus mengantri juga untuk men-charge handphone, senter, sampai baterai kamera yang sudah habis.
          Setelah bersih dan salin, saya berjalan menuju pendopo untuk makan malam. Tak jauh dari jalan setapak yang saya lalui, saya bisa mendengar gema pengajian dari masjid yang letaknya mungkin di tengah perkampungan. Semua petualangan ini hampir saja membuat saya lupa dengan kehidupan saya di pulau seberang. Keluarga saya pasti ingin mendengar kabar saya. Tapi sayang, tidak ada sinyal sama sekali dari provider seluler yang saya pakai. Teman saya bilang, ada sedikit sinyal jika saya berdiri di dekat pantai. Saya mencoba dan benar saja, setidaknya saya bisa dapat satu bar sinyal. Cukup untuk membalas rentetan pesan yang baru saja masuk dan mengirim kabar kepada keluarga di rumah.
          Pukul dua pagi alarm berbunyi gaduh dan saya pun membangunkan teman-teman yang lain. Rumah kami menjadi sangat gelap. Listrik benar-benar sudah padam. Pukul tiga pagi kami selesai berkemas dan berkumpul di jalan setapak menuju dermaga. Barulah saya kemudian sadar, seharusnya saya membawa senter.
          Kami naik ke atas kapal. Sebenarnya saya memilih pindah kapal di mana kemungkinan saya terkena angin sangat kecil karena angin laut pagi itu sangat kencang dan dingin. Gelombang dan ombaknya pun sangat tinggi. Kapal kami bergoyang dari kanan ke kiri, naik dan turun, lalu “Byuuuuuurrrrr!” cipratan air laut menampar wajah saya. Berulang kali seperti itu hingga mendekati pulau anak krakatau. Beberapa teman saya tidak terganggu dengan ombang-ambing kapal yang kencang seperti itu. Mereka malah bisa melanjutkan tidurnya di atas tumpukan ransel kami. Saya mencoba untuk ikut melanjutkan tidur saya, tetapi kengerian terhadap ombak besar dan gelapnya laut dan langit malam membuat saya hanya bisa duduk kaku sambil memeluk life jacket. Mata saya tidak bisa melihat apa-apa kecuali beberapa titik bintang. Selebihnya hanya laut hitam dan langit gelap tanpa garis cakrawala yang jelas. Fear is a friend who’s accompanying me all the waves long.
          Ketakutan menemani saya selama dua jam hingga kapal berlabuh di pesisir pantai hitam. Matahari belum keluar dari sarangnya tetapi langit sudah mulai terang. Perlahan kegelapan memudar. Kami di angkut sampan kecil untuk menyebrang dari kapal ke pantai. And then… I saw it! The adorable and legendaries one: Son of Krakatau. It’s very sexy and masculine! God is great!

Subuh, hampir sampai di Pulau Anak Krakatau. 
 
          Saya melepas sepatu dan menjejakkan kaki saya di atas pasir hitam, merasakan bekas abu vulkanik di antara jari-jari kaki saya. Rasanya luar biasa! Feels awesome! Pasirnya masih terasa dingin dan halus. Saya dan teman-teman pun bersiap mendaki puncak Krakatau.
Pesisir pantai Anak Krakatau, pasir hitam membuat lautnya berwarna hitam.  

Kapal kami merapat ke pantai berpasir hitam. 

Tumbuh-tumbuhan di sekitar pantai. 

Anak Krakatau: The World Heritage Site and Natural Succession
          Kepulauan Krakatau terdiri dari Pulau Rakata atau Krakatau Besar (1400 ha), Pulau Panjang atau Krakatau kecil (320 ha), Pulau Sertung (1060 ha), dan Pulau Anak Krakatau (320 ha). Sampai saat ini, Anak Krakatau yang muncul tahun 1927 merupakan gunung berapi yang masih aktif. Secara administratif, Kepulauan Krakatau terletak di kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan (Provinsi Lampung di Sumatera). Tapi, pada kenyataannya mereka membentuk bagian dari Ujung Kulon - Krakatau National Park, yang diakui oleh UNESCO sebagai situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
Pada tahun 1990, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan mengadakan pengelolaan Cagar Alam Kepulauan Krakatau ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau Kantor Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, di Sumatera, dengan tujuan untuk melindungi dan melestarikan kepulauan Krakatau sebagai situs konservasi yang penting bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan. Pada tahun yang sama cagar alam diperluas oleh Departemen Kehutanan dengan total area seperti yang ada sekarang.
          Pulau Anak Krakatau muncul sekitar tahun 1927 – 1929 dan kolonisasi jenis tumbuhan dan satwa baru berjalan beberapa puluh tahun terakhir (sekitar 75 tahun). Sementara proses kolonisasi flora dan fauna di pulau Rakata, Panjang dan Sertung sudah berjalan cukup lama, yaitu sejak pasca letusan 1883 hingga sekarang.
          Di pulau Anak Krakatau, daerah punggung gunung umumnya masih gundul karena suhu yang tinggi dan kekurangan air. Oleh sebab itu kita hanya akan menjumpai kolonisasi tumbuhan tak jauh dari pantai. Jenis tumbuhan pioneer seperti gelagah (Saccharum spontaneum) bersimbiosis dengan Azospirillum lippoferrum. Kemudian terjadi proses pelapukan pasir di bagian bawah yang telah ditumbuhi gelaga dan tumbuhlah jenis Melastoma affine dan jenis-jenis tumbuhan lainnya.
          Saat ini keanekaragaman flora di kepulauan Krakatau tercatat antara lain 206 Fungi, 13 jenis Lichenes, 61 jenis paku-pakuan (Pteridophyta), dan sekitar 257 jenis Spermatophyta.
          Sedangkan faunanya terdiri dari jenis mamalia seperti Rattus (tikus) dan Megaderma (kalong). Kelompok Aves  tercatat sekitar 40 jenis dari yang berukuran besar hingga yang berukuran kecil seperti Bubut Alang-Alang Jawa, Elang, Belibis, hingga kolibri. Kelompok reptilia yang menghuni pulau ini, selain biawak dan penyu, ada juga ular, baik yang berukuran besar seperti Sanca hingga yang berukuran relatif kecil.
Aves Coprimulgus offinis
Falco Severus 



Sunday, October 9, 2011

My Travel Notes: Krakatau (part 1)


Anak Krakatau: adorable journey to freedom
Anak Krakatau from the boat

Rasanya tidak bisa percaya saat itu saya berdiri di atas gunung pasir hitam, abu vulkanik dan belerang yang sudah mengkristal, mungkin sekitar 2 kilometer dari bibir kawah gunung anak Krakatau. Sempat merinding saat saya membelakangi punggung si anak Krakatau dan mendapati pemandangan yang menakjubkan; tentakel Batara Surya membuka jalan dari ufuk timur menyusul saya ke puncak. Kaki dan wajah saya yang sebelumnya terasa kelu karena angin dingin, perlahan tersapu kehangatan sang Batara Pagi. Laut, pesisir hitam, hutan pinus dan barisan pulau Krakata seperti bangun dari tidurnya. Saya sangat takjub dan tak bisa berhenti menutup mulut saya yang kerap menganga, “waaaaaaaaaaauuuuuuuuw… wuhuuu!that was my first extreme journey since I went out of my homey cage.

A Night to Remember
          I slept with him and can’t get my eyes off of his darkness beauty. Semalam saya habiskan penuh dengan keromantisan sepanjang selat Sunda. Bertolak dari pelabuhan Merak, menumpang kapal Ferry menuju pelabuhan Bakauheni. Saya bisa saja memilih menghabiskan satu malam perjalanan di kompartemen kelas 1 atau kabin nyaman ber-AC kelas 2. Jika ingin menjalin kehangatan bersama petualang lainnya saya bisa saja tinggal di kelas ekonomi yang sangat sederhana, sangat merakyat dan sangat rendah diri. Hangat dan akrab bersama aroma rokok yang ramah bersahabat.
But then I made a choice from my inquiry; what is it up there? Di samping dek kapal, saya melihat sebuah tangga melingkar dan berakhir dengan keingintahuan: tangga itu akan membawa saya kemana? Tanpa ragu-ragu, saya dan dua orang teman seperjalanan saya langsung menaiki tangga itu yang membawa kami menuju geladak teratas. Kami menyebutnya geladak kelas 1 karena bisa menyuguhkan kami pemandangan malam yang sangat memukau. Saya menempati satu bangku panjang di mana saya bisa merebahkan tubuh saya yang sudah sangat letih bekerja. Yes I was staring at him, the night, and it felt like he’s staring back at me. Afterwards, I fell in love to the dark sky and its stars. I fell in love to the night sea and its waves.
Dua jam sudah saya terombang-ambing di laut tanpa rasa mabuk atau paranoid yang biasanya saya alami. Kedua teman saya sudah jatuh terlelap tanpa menyaksikan sedikit pun kisah cinta dengan sang malam. Tapi perlahan gelombang yang semakin besar dan memaksa saya berdansa dengannya membuat saya muak. Jadilah saya berbaring telentang menatap mata langit. Dalam dan hitam. Ratusan bintang gemerlap membuai saya dengan alunan nina-bobo. Angin laut berhembus semakin kencang dan dingin tentunya, menyapu saya sesaat ke atas langit bertabur bintang yang tidak pernah bisa saya lihat dari teras rumah di Jakarta.
dawn at Bakauheni harbour




The Journey Begins
Kapal motor yang kami sewa
          Tuuuuuuuuuuuuttt! Kapal hampir merapat ke dermaga. Angin laut tidak lagi sehebat tadi malam dan kepergiannya lah yang membangunkan saya. Ternyata kedua teman saya sudah bangun dan sedang sibuk melipat sleeping bag mereka lalu mengabadikan momen; pelabuhan Bakauheni masih berselimut kabut tipis di balik kelambu pagi. Saya mengikuti rombongan perjalanan saya keluar dari kapal. Menjejakkan kaki di dermaga, membalikkan tubuh saya ke arah laut; pulau Jawa sudah tidak terlihat. “Good bye for a while my life in Java!
          Keluar dari pelabuhan, kami menyewa mobil angkutan umum untuk membawa kami menuju pantai Canti. Letaknya tak jauh dari Bakauheni, hanya sekitar satu jam. Beberapa teman lain naik bersama kami, sibuk melanjutkan tidurnya di dalam mobil yang melaju di atas jalan kecil nan mulus. Saya lebih memilih menyaksikan apa saja yang bisa dijangkau mata saya. Hamparan ilalang kering di kanan kiri jalan, lapangan kosong, pohon-pohon pisang, dan beberapa petak tanah yang menggosong sisa dibakar. Tak ada perkampungan yang mencolok, tak ada persawahan, tak ada gedung tinggi. Tidak ada kemacetan, tidak ada polusi berlebihan yang membuat langit menjadi abu-abu.
          Satu jam menikmati perjalanan darat, kami sampai di Pantai Canti dengan sebuah dermaga kecil yang akan mengantar kami menuju kapal motor yang telah disewa, menuju beberapa pulau dan akhirnya, Anak Krakatau. Saya sarapan di sebuah warung makan tepat di samping dermaga. Warung sederhana yang menyajikan keramahan sebagai tempat singgah sementara.

Angkat Jangkarnya, Kelasi!
          Saatnya saya berangkat memulai petualangannya saya dengan laut. Sebenarnya sejak kecil saya sangat takut berlayar di laut terlalu lama. Bukan hanya karena saya tidak bisa berenang atau takut tenggelam maupun kecelakaan yang mungkin terjadi, dan semacamnya. Tapi karena saya memang tidak mau mengakrabkan diri dengan dalamnya misteri laut yang tidak bisa saya lihat dari permukaan sejak kecil. Rasanya seperti terlalu berisiko. Saya tidak bisa menjangkau dasarnya yang mungkin gelap dan dingin. Sama seperti saat saya tidak bisa membaca hati seseorang, sangat penuh praduga dan misteri. Kecuali saya mau mengambil risiko berenang ke dasarnya dan menemukan rahasia yang karam di bawah sana. Ups, let’s leave the story behind.
          Teman saya memberikan sebuah jaket pelampung untuk saya pakai. Segera, kami naik ke atas kapal. Benar-benar di ATAS kapal, bukan di dalam. Matahari belum terlalu terik. Jadi, saya sangat menikmati saat kapal motor kami berdansa dengan ombak. Rasanya seperti berada di atas banana boat. Sangat seru! Saat itulah saya mencoba mengalahkan ketakutan saya terhadap laut lepas dengan tidak duduk diam di dalam kapal. Lagipula, sesuatu yang ekstrim jadi sangat menyenangkan selama saya bisa menjaga keselamatan diri.
          Satu jam bermain gelombang di atas kapal, lalu sampailah kami di Pulau Sebuku Kecil.
Pulau Sebuku Kecil
          Heaven shells! Pulau Sebuku Kecil adalah surganya bangkai koral dan cangkang kerang. Pasir putih dan benar-benar putih terhampar menyisir bibir pantai. Pantainya landai dan jernih. Sayangnya, ini bukan titik yang tepat untuk snorkeling karena yang saya lihat hanya pasir putih dan bangkai terumbu. Selain itu saya juga harus berhati-hati terhadap Bulu Babi. Ouch! seorang teman saya sempat menginjak bulu babi saat ia asik menjelajah ke perairan yang lebih dalam. Sambil berjalan menyusuri pantai, saya memunguti beberapa cangkang kerang yang agak besar dan masih putih warnanya. I can use it as decoration on coffee table. It’s free! Ps: Provided by nature.
          Puas bermain-main di pantai, menikmati sebagian keindahan gugusan pulau selat sunda, dan menemukan kedamaian batin, saya kembali naik ke kapal yang selanjutnya akan membawa saya ke snorkeling spot di dekat Pulau Sebuku Besar yang letaknya di seberang. Hanya lima belas menit dan kami sudah sampai. Siap terjun?
          “Hap, elo enggak akan loncat dari atas kapal kan?” tanya teman saya. Saya lalu mengangguk, “loncat dari atas kapal saja. Gue belum pernah loncat setinggi ini.”
          Once again, I made a choice from my inquiry. Saatnya untuk snorkeling dan saya berhasil terjun dari atap kapal ke laut. I coped with my fear and made it! Rasanya seperti mendarat di atas jelly yang akan membawa tubuh saya kembali ke atas permukaan. Mengerikan memang rasanya ketika jari kaki saya tidak bisa menyentuh dasar untuk berpijak. Pelampung saya menjaga saya tetap mengambang dan menikmati indahnya pemandangan bawah laut dari permukaan. Terumbu karang beraneka bentuk dan warna hidup di bawah laut. Ikan-ikan kecil warna-warni berenang-renang di sekitarnya dan sembunyi-sembunyi malu. Semakin dekat dengan pantai, semakin dangkal lautnya dan semakin besar risiko kaki kita menginjak terumbu karang baik sengaja atau pun tidak sengaja. Oleh sebab itu saya berusaha agar tetap berada di kedalaman minimal dua meter. Sebuah terumbu karang membutuhkan waktu 30 tahun untuk tumbuh sepanjang 1 centimeter. That’s too pity if my toes broke one coral reefs, there’ll be 30 years guilty feeling. Oh, no!


Pasir putih dan air jernih di Pulau Sebuku Kecil. Di seberang adalah Pulau Sebuku Besar

Friday, August 12, 2011

came out the class

The theme for learning was Up and Away. Children made 2D Picture on display board. They were encourage to draw their imagine kites. Some of them made princess-kites, or just draw their self. Ones just scratched, others made banana-kites, spider-kites, alien-kites, bird-kites. Afterwards they could coloring a figure outline which represent to their selves. for the grass, children were encourage  to cut on the black line of pieces green paper that I've made. Then we sticked all of our works on the board with push pins. From this simple activity, children learned that their kites could go up if there's wind, and wind can blow away all the light things.


Saturday, July 16, 2011

Came out the class

Butterfly Recycle-Made

Here is a simple idea to make a Butterfly from recycle stuffs. It’s easy and children between 3 to 4 years old surely can do it, of course with our assistance. My children in Nursery class which are 3 to 4 years old can made it with minimum help from me.




What do we need?
The materials needed are:
1 tissue roll/toilet roll
1 stick (ice cream stick)
Butterfly outline on paper (you can make it by yourself. You just need to draw an outline of butterfly on a paper, or search it on Mr. Google and then print out in A3 size)
2 googlie eyes
Pipe cleaner (about 10 cm length)
Tempera paint

And the tools needed are:
Scissor, paint brush, glue.

How to make it?
1.    Fold the outline of your butterfly into two. Make sure that you fold it in the middle and each side has same size. After that, paint it using tempera paint and small brush but only on one side. Then fold on the other side, so you’ll have paint refraction on the blank side. Open the folding again and let it dried.
2.    Take your toilet roll. If you want to, you can paint it too for the body of your butterfly. When it dried, glue the one-third stick into the toilet roll (use strong glue which can glue wood).
3.    Put the glue on the middle folding of your painted butterfly. Then paste it on your toilet roll. Let it dry in 5 minutes.
4.    Paste a pair of googlie eyes on the head of your butterfly. And make your antenna from small size pipe cleaner. Fold your pipe cleaner into two (same size, in the form like ‘V’) and then stick it behind the head of your butterfly. Make sure that you use strong glue which can glue fabric material but it still safe for children.
5.    Your Butterfly ready to be hanged on your window, or to be played on your garden.


Song about Butterfly:
Fly , fly, fly the butterfly. In the meadow, it’s flying high. In the garden, it’s flying low…
Fly, fly, fly the butterfly.