Wednesday, October 12, 2011

My Travel Notes: Krakatau (part 3 - End)

Puncak Anak Krakatau dari dekat: pasir, kerikil, batu gunung, dan kristal belerang. 


Never Stop To Be On Top
          Banyaknya pasir yang berulang kali masuk ke sepatu crocs saya dan membuat perjalanan saya tidak nyaman, memaksa saya untuk mendaki dengan bertelanjang kaki. Tekstur pasir yang halus di antara sela jari-jari kaki saya membuat kaki saya tidak terasa sakit, tapi malah terasa nyaman. Saya pun mulai berjalan menembus hutan paku yang menjadi gerbang menuju pertapaan sang legenda. Setelah menembus hutan, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pasir hitam dan tanaman gundul. Di depan saya, tentu saja sudah tampak punggung Anak Krakatau.

          Daratan landai lama-lama terasa semakin terjal. Untung saja matahari belum tinggi, jadi pasir tempat saya berpijak belum terasa panas. Lelah pun mulai terasa saat pendakian di kaki gunung. Dua kali saya menjejakkan langkah, satu kali saya tergelincir turun. Terang saja, tidak ada pijakan yang benar-benar padat. Tidak ada tanah keras atau pun bebatuan. Hanya pasir dan abu. Mendaki Anak Krakatau ternyata lebih berat daripada mendaki gunung bertanah padat atau pun menaiki 1000 anak tangga di Gunung Bromo.
Jalur pendakian: naik dua langkah, turun satu langkah. 

          30 Menit saya mendaki dengan napas tersengal-sengal dan hidung kembang kempis, sampai juga di puncak Anak Krakatau. Saya masih ingat kata pertama yang keluar dari mulut saya, “Akhirnya... bisa liat salju juga.”
          “Itu bukan salju, tapi belerang.” Jawab teman saya.
          Jika dilihat dari jauh, puncak krakatau memang tampak diselimuti salju tipis. Setelah saya pikir-pikir, benar juga. Mana mungkin ada salju di atas lapisan tanah yang di bawahnya terdapat cairan larva bersuhu ratusan derajat celcius. Mineral berwarna putih yang saya lihat itu ternyata adalah belerang yang telah mengkristal dan menjadi padat seperti batu. Sisanya, saya berdiri di atas jutaan ton pasir dan abu vulkanik. Wow! Unbelievable!
          Puncak yang saya capai sebenarnya bukan benar-benar puncaknya Anak Krakatau, tapi merupakan batas terdekat yang diperbolehkan untuk wisatawan. Demi keselamatan, berada tepat di atas puncaknya masih tidak memungkinkan mengingat Anak Krakatau bisa meletus kapan saja.
          It’s unforgettable! While I turned around, all I saw has amazed me. Dari puncak saya bisa melihat Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Hanya Pulau Rakata yang tak tampak karena letaknya berada di belakang kubah Anak Krakatau. Saya juga bisa menyaksikan cahaya matahari beringsut dari balik Pulau Panjang. Berdiri dan mengabadikan momen di puncak Anak Krakatau rasanya puas sekaligus tegang mengingat bahwa ada lahar yang bergejolak di bawah kaki saya. Dengan jantung yang terus berdegub kencang, seperti ketika sedang jatuh cinta pada seseorang, saya menikmati petualangan ini. I love this adventure! Beauty combined with adrenaline, it set me free!
          Setelah puas menghabiskan waktu dan berfoto di semua sudut puncak Krakatau, saya dan teman-teman harus kembali ke pantai untuk sarapan dan akhirnya kembali berlabuh. Kami pun segera menuruni bukit terjal yang terasa jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan mendaki, kembali menyusuri jalan setapak, dan menembus hutan. Tibalah kami di Pos Selamat Datang. Kami melahap sarapan lalu melipir ke pantai dan naik ke atas kapal.
          3 Jam waktu yang dibutuhkan dari Anak Krakatau untuk kembali ke Dermaga Canti. Sepanjang perjalan pulang, matahari terlalu terik untuk menemani saya duduk di atas kapal, sehingga saya memilih bale di belakang kabin nakoda. Karena kelelahan, saya tertidur pulas dalam buaian ombak hingga kapal merapat di Canti.
          Sesampainya di daratan, saya langsung mencari tempat kamar mandi umum karena badan saya sudah terasa sangat lengket dan asin. Kemudian saya dan teman-teman makan siang di warung makan sederhana yang sama saat kami pertama kali tiba di Canti. Beberapa mobil charteran sudah menanti kami dan siap mengantar kami kembali ke Pelabuhan Bakauheni. Kami pun naik dan satu jam kemudian tiba di pelabuhan.
          Dalam perjalanan pulang, waktu yang kami butuhkan untuk menyeberang tidak sampai empat jam seperti saat berangkat. Hanya dua jam ditambah menyaksikan pemandangan matahari tenggelam di ufuk barat, sampailah kami di pelabuhan Merak. Hello again, Java… kami pun sudah berada lagi di Pulau Jawa. Tanah kelahiran saya ^^
          This is one of my greatest adventures in my life (^^)b I met new friends, I learned to cope with my fears, I learned to defeat my dependency and went out of my homey cage. I satisfied my curiousity. I got more natural inspiration to write. I learned a lot from nature wise. I set my self free! And this can't be forgotten unless I got amnesia :p

~I hope the journey would never end, so no need to write "end" here~
Happy Indah NG
12/10/2011, 17:43 

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)