Monday, November 12, 2012

Kontroversi Soekarno sebagai Proklamator atau Pengkhianat


Jauh sebelum penganugerahan gelar Pahlawan Nasional, masalah Soekarno dan berbagai perannya dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan RI dan pasca-kemerdekaan, telah melahirkan perdebatan dan kontroversi. Adanya perdebatan dan kontroversi itu ternyata ikut menyebabkan kebingungan di masyarakat Indonesia. Terutama generasi muda yang baru lahir setelah kematian Soekarno pada 1970. Bagaimana sesungguhnya Proklamator itu diposisikan? Apakah Soekarno sungguh seorang pahlawan atau pengkhianat?
Kebingungan generasi muda terjadi karena mereka hanya mengenal Soekarno dari sumber referensi buku sejarah. Tanpa menyadari sejarah Indonesia yang mereka pelajari khususnya bab yang berkisah sekitar peran Soekarno, banyak yang dibelokkan. Soekarno yang diakui bangsa-bangsa di Asia dan Afrika sebagai pemimpin besar, tapi dalam literatur karya sejarawan Indonesia, ia justru dikerdilkan. Rekayasa sejarah dan pengerdilan itu mengakibatkan munculnya fakta yang tidak sesuai dengan logika. Salah satu kontroversi misalnya terkait dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.33 tahun 1967.
Ketetapan itu menuding Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan G30S/ PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI. Dalam kata lain, Soekarno dicap berstatus pengkhianat dan dituduh ikut terlibat dalam G30 S/PKI. TAP MPR NOMOR 33 tahun 1967 dinilai kontroversial dan bertentangan dengan logika karena pada saat peristiwa pembantaian para jenderal TNI 30 September 1965 yang diduga dilakukan oleh PKI sebagai partai yang dituding ingin mengambil kekuasaan di Indonesia, pejabat yang berkuasa pada saat itu adalah Soekarno sendiri.
"Bahwa ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI," demikian bunyi ketetapan yang dikeluarkan 12 Maret 1967. TAP XXXIII/MPRS/1967 juga turut menyeret-nyeret pendiri Partai Nasional Indonesia itu ke persoalan hukum. Dalam BAB II ketetapan tertulis, "Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden."
Pada saat itu, Soekarno tidak sekadar Presiden untuk satu periode, tetapi sudah ditetapkan oleh MPR (Gotong Royong) sebagai Presiden seumur hidup. Dia juga menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia yang membawahi semua kekuatan: Darat, Laut, Udara dan Polisi. Hal ini tentu tidak masuk akal jika Soekarno sebagai presiden yang sedang berkuasa pada masa itu melakukan pemberontakan/pengkhianatan, apalagi terlibat dalam penggulingan kekuasaan atas dirinya sendiri. Bahkan pihak barat sebagai poros politik dunia yang nota bene menjadi lawan Soekarno ikut menilai hal itu tidak logis.
TAP ini merupakan produk pemerintahan Orde Baru, rezim pimpinan Jenderal Soeharto. Jenderal inilah yang mengambil alih hak kepresidenan dari tangan Soekarno di awal 1966. Pengambil-alihan kekuasaan itu menjadi legitimate, karena Soeharto berpegang pada apa yang ia namakan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dokumen Supersemar kemudian diklaim Soeharto sebagai penugasan Presiden Soekarno kepadanya untuk menjalankan tugas sehari-sehari kepresidenan. Sementara semangat TAP 1967 itu sendiri memposisikan Presiden Soekarno dalam radar tudingan. Soekarno dituduh sebagai salah seorang tokoh nasional yang berada di balik usaha penggulingan kekuasaan yang sah. Pihak yang berusaha menggulingkan kekuasaan adalah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Brian May, seorang wartawan Amerika Serikat yang menganalisa ataupun membongkar tentang tuduhan keterlibatan Soekarno tersebut juga menilai tidak masuk akal. Brian yang pernah bertugas di Indonesia pada saat TAP itu dilahirkan, tidak sependapat dengan tudingan keterlibatan Soekarno. Ia menuliskan penilaiannya itu dalam bukunya berjudul "The Indonesian Tragedy". Buku itu kemudian dilarang masuk ke Indonesia selama pemerintahan Soeharto (1966-1998).
Kontroversi lain yang terkait dengan pencopotan kekuasaan Presiden Soekarno terletak pada Supersemar 1966. Dokumen yang selama 32 tahun menjadi bukti otentik adanya transfer kekuasaan secara damai dari Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto), hingga Soeharto meninggal, tidak pernah diperlihakan kepada publik. Arsip negara pun kabarnya tidak punya copy apalagi dokumen aslinya. Ada tiga nama yang disebut sebagai saksi dalam dokumen Supersemar tersebut, yakni Basuki Rachmat, Amirmachmud dan Andi M Jusuf. Ketiga jenderal Angkatan Darat di era Orde Baru itu menempati jabatan penting dan ketiganya telah berpulang, sebelum Soeharto meninggal.
Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pendidikan Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri, menganggap ada kepentingan pragmatis di balik pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno dan Bung Hatta. Kepentingan itu terkait erat dengan masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan berakhir pada 2014. Pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno bukan hal yang luar biasa karena tidak diikuti dengan upaya merehabilitasi nama baik Bung Karno yang ditumbangkan dalam kudeta merangkak yang berawal dari peristiwa Oktober 1965 hingga puncaknya pada Sidang Istimewa MPRS 1967. Pemberian gelar pahlawan nasional itu tidak sempurna sebelum TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno dibatalkan.
Saat ini Tap MPR nomor 33/MPRS/1967 telah dinyatakan tidak berlaku, melalui Ketetapan MPR nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Status Hukum Tap MPRS dan Tap MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, sehingga pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno tidak menjadi masalah. Namun hal tersebut belum menghapus tuduhan terhadap Bung Karno yang dianggap telah melakukan pengkhianatan terhadap Negara, yang diperjuangkan sendiri kemerdekaannya. Soeharto memang tidak melakukan tindakan hukum terhadap Soekarno. TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003, yang meninjau TAP MPR dari 1960 sampai 2002, juga sudah menyatakan TAP XXXIII/MPRS/1967 tidak memerlukan tindakan hukum apapun.

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)