Wednesday, December 21, 2011

Ekplorasi Seksualitas Perempuan dan Feminisme dalam Sastra


             Kalian mungkin sudah membaca novel Saman karya Ayu Utami, Jangan Main-main dengan Kelaminmu atau Naila dari Djenar Maesa Ayu. Beberapa orang akan sangat menikmati buku tersebut dan menganggap gaya penceritaan yang digunakan sangat ekpresif, indah dan berani. Mereka adalah penulis yang cenderung mengeksplorasi seksualitas perempuan namun tetap mengangkat tema yang berkaitan dengan perempuan.
            Sebenarnya, feminisme adalah sebuah gerakan yang merupakan reaksi dari ketidakadilan gender yang terjadi menjelang masa pencerahan. Pada masa itu disebut dengan feminisme klasik yang merupakan doktrin yang menyerukan kesetaraan hak-hak sosial dan politik kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Kemudian lahirlah para penulis perempuan yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan emansipasi wanita sebagai bentuk perjuangan untuk kesetaraan gender dan mematahkan sebuah dekonstruksi sosial yang mengikat perempuan secara kultural dengan sistem dan budaya patriarki.
            Seiring berkembangnya zaman, pemikiran perempuan pun berkembang. Feminisme klasik terus berkembang menjadi feminisme radikal, moderen dan posmoderen. Kaum feminisme posmoderen sangat persuasif terhadap penulis perempuan untuk menulis tentang seksualitas perempuan dalam karya sastra, sehingga muncul istilah ”sexts” yang merupakan akronim dari sex dan text. Mereka menganggap bahwa seksualitas yang dimiliki perempuan lebih menarik dan tidak membosankan ketimbang mengeksplorasi seksualitas laki-laki yang dinilai tidak banyak dan membosankan.
            Akibat dari pemikiran kaum posmoderen ini, banyak penulis perempuan yang menulis dengan mengeksplorasi seksualitas perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem dan budaya patriarki yang telah sekian lama mendominasi di masyarakat. Adegan seks dan seksualitas perempuan dideskripsikan secara detil. Mereka memang mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan emansipasi perempuan dan kesetaraan untuk perempuan, namun semangat mereka yang menggebu-gebu untuk memperjuangkan itu justru menjadikan tubuh perempuan sebagai objek seks, bukan subjek seks.
            Mungkin maksud para penulis perempuan ini sangat baik, yaitu untuk mengangkat derajat perempuan, menunjukkan bahwa perempuan memiliki kuasa atas tubuhnya dan inisiatif dalam melakukan hubungan seks. Sebaliknya, menurut saya hal ini justru akan menunjukkan bahwa perempuan terlihat sangat rendah dengan menjadi objek seks. Mungkin beberapa kritikus menganggap bahwa penuturan seks yang lebih gamblang saat ini merupakan sebuah bentuk ekspresi perempuan moderen atau bahkan posmoderen dan tidak terlalu berpengaruh. Namun sebenarnya perempuan pun dapat berbicara tanpa mengeksplorasi seksualitas mereka secara berlebihan untuk menopang kesetaraan gender jika memang ada ketimpangan.
            Tergantung dari mana kita melihat permasalahan ini, melihat sastra sebagai bentuk kreativitas atau sebagai tombak perjuangan atas sesuatu.

Happy Indah Nurlita G.

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)