Wednesday, October 12, 2011

My Travel Notes: Krakatau (part 2)

Dermaga Pulau Sebesi 

There’s a Life at Sebesi
          Puas melihat keindahan bawah laut di perairan Sebuku, kami kembali berlayar menuju pulau berpenghuni tempat kami akan bermalam, Pulau Sebesi. Pulau ini dihuni sekitar 20.000 jiwa yang kebanyakan dari mereka adalah penghuni asli gugusan pulau Krakatau dan sebagian lagi berasal dari Lampung.
Seorang penduduk yang memfasilitasi kami di pulau itu telah menunggu kami di dermaga Sebesi. Dengan berjalan kaki, ia lalu membawa kami ke pendopo tempat santap siang telah disediakan. Yummy, all are seafood! Lalu ia membawa kami ke perkampungan yang letaknya tak jauh dari dermaga. Itu bukanlah perkampungan padat penduduk. Dalam satu jalan hanya terdapat sekitar 20 rumah saja. Saya memilih rumah yang terdekat. Rumah putih dengan kamar yang telah dikosongkan dan ruang tamu disulap menjadi tempat yang layak untuk beristirahat. Penghuninya tinggal di bagian belakang rumah selama kami bermalam.
How about the electricity? There was no electricity before the sun goes down. Listrik bertenaga diesel hanya bisa diakses jam setengah enam hingga tengah malam. Setelah tidak bisa  mengakses listrik, mereka akan menggunakan chargeable lamp sebagai penerangan. Mata pencaharian penduduknya juga beragam; nelayan, bercocok tanam, menyewakan rumahnya kepada wisatawan, dan pedagang. Di pulau ini tidak ada pasar. Namun ada beberapa penduduk yang memang membuka warung rumahan dan hanya menjual kebutuhan barang seperti peralatan mandi dan mie instant. Ketika saya harus menulis tentang pulau sebesi dan kehidupan yang ada di dalamnya, tidak akan cukup jika saya tuangkan dalam tulisan ini karena banyak sekali hal menarik yang ingin saya ceritakan. So, Let’s move on the track.

Deep Blue Sea
          Menunggu matahari sedikit condong ke barat, saya dan teman-teman berteduh malas di bawah rindangnya pinus pantai. Terik matahari dihalau sejuknya angin laut, ditemani segarnya air kelapa yang kami seruput langsung dari buahnya. What a life!
Bangkai kapal nelayan di Pantai Sebesi, tak jauh dari dermaga dan pendopo tempat kami makan siang. 
 
          Pukul 3 siang, kami kembali ke kapal menuju titik penyelaman kedua. Lokasi snorkeling berikutnya sedikit lebih jauh dari pesisir pantai. Lautnya jelas lebih dalam dari sebelumnya. Jika sebelumnya saya bisa melihat warna-warni terumbu karang dari permukaan yang jernih, di lokasi berikutnya hanya laut biru yang dalam. Arusnya pun jauh lebih deras sehingga awak kapal harus menarik kami dengan tambang agar kami bisa kembali ke kapal. That time I failed to cope with my fear, just because of the stream. Saya akhirnya memutuskan tidak turun ke laut dan hanya menyaksikan keasikan teman-teman saya dari dek kapal.
          Tujuan akhir di penghujung hari adalah menikmati senja dan matahari terbenam di sebuah pulau kecil bernama Pulau Umang. Sering orang mengira ini adalah pulau eksklusif yang populer itu. No, it’s not! Ini hanya sebuah pulau kecil yang luasnya tidak sampai 500 meter, tidak berpenghuni, dan tidak ada resort. Kapal tidak bisa merapat ke tepi pantai karena karang di sekeliling pulau. Jadilah kami nyebur terlebih dulu dan berenang menuju tepian. Karena karang-karang di sana benar-benar tajam, sebaiknya tetap pakai alas kaki. Jika tidak, relakan saja kaki terasa perih setelahnya.
Pulau Umang dan pasir putih 

Pagar Karang di salah satu sisi Pulau Umang, Selat Sunda. 

Pulau Umang ini menjadi perhatian saya. Pasirnya tidak hanya putih tetapi juga halus seperti tepung. Batuan coral dan cangkang kerang yang saya temukan lebih beragam namun masih didominasi warna putih. Alam menyediakan semua keindahan untuk saya nikmati, termasuk untuk buah tangan. Jadilah sepanjang sore saya habiskan untuk memunguti cangkang kerang dan bangkai terumbu yang mungkin bisa saya jadikan pajangan di rumah atau akuarium. Begitu banyak yang bisa saya ambil hingga tangan saya tidak lagi bisa menampung, saya mencari plastik atau semacamnya yang mungkin terdampar di pulau itu.
As my friend said: nature provides all what we need and men keep throwing rubbish to the sea. Di bagian lain pulau, saya memang bisa menemukan keadaan yang sangat memprihatinkan. Sampah plastik, sterofoam, bungkus mie instant, kaleng cat, sandal, dan aneka sampah metropolitan lainnya bisa saya temukan dengan mudah. I had no words to say about it. Pulau Umang seperti koin, memiliki dua sisi yang berbeda: satu sisi pulau tampak sangat indah dan mempesona dengan pasir putihnya dan tebing karang yang dihantami ombak terus menerus, sementara sampah-sampah terdampar di sisi lainnya. Matahari pun perlahan tenggelam bersama kesedihan dan kekecewaan saya. Bukan karena pulau Umang melainkan orang-orang yang tidak pernah sadar kemana larinya sampah yang mereka buang. They think it’s just going to disappear without ending up somewhere. Stupid!
Menyaksikan matahari terbenam di Pulau Umang.

Sunset at Sunda Strait. Matahari mulai menghilang di balik gunung Pulau Sebesi. 

Bangkai Terumbu dan Kulit Kerang yang berhasil saya pungut selamat sampai ke kapal. Kulit saya pun jadi gosong.

Darkness fall, journey at the sea begins
          Dalam satu rumah memang hanya terdapat satu kamar mandi atau sumur. Jadi, ketika kami pulang ke penginapan lokal dengan tubuh lengket dan penuh pasir, kami masih harus mengantri untuk mandi. Listrik yang sudah menyala pun juga harus digunakan dengan bijak karena hanya akan disediakan hingga tengah malam. Kami harus mengantri juga untuk men-charge handphone, senter, sampai baterai kamera yang sudah habis.
          Setelah bersih dan salin, saya berjalan menuju pendopo untuk makan malam. Tak jauh dari jalan setapak yang saya lalui, saya bisa mendengar gema pengajian dari masjid yang letaknya mungkin di tengah perkampungan. Semua petualangan ini hampir saja membuat saya lupa dengan kehidupan saya di pulau seberang. Keluarga saya pasti ingin mendengar kabar saya. Tapi sayang, tidak ada sinyal sama sekali dari provider seluler yang saya pakai. Teman saya bilang, ada sedikit sinyal jika saya berdiri di dekat pantai. Saya mencoba dan benar saja, setidaknya saya bisa dapat satu bar sinyal. Cukup untuk membalas rentetan pesan yang baru saja masuk dan mengirim kabar kepada keluarga di rumah.
          Pukul dua pagi alarm berbunyi gaduh dan saya pun membangunkan teman-teman yang lain. Rumah kami menjadi sangat gelap. Listrik benar-benar sudah padam. Pukul tiga pagi kami selesai berkemas dan berkumpul di jalan setapak menuju dermaga. Barulah saya kemudian sadar, seharusnya saya membawa senter.
          Kami naik ke atas kapal. Sebenarnya saya memilih pindah kapal di mana kemungkinan saya terkena angin sangat kecil karena angin laut pagi itu sangat kencang dan dingin. Gelombang dan ombaknya pun sangat tinggi. Kapal kami bergoyang dari kanan ke kiri, naik dan turun, lalu “Byuuuuuurrrrr!” cipratan air laut menampar wajah saya. Berulang kali seperti itu hingga mendekati pulau anak krakatau. Beberapa teman saya tidak terganggu dengan ombang-ambing kapal yang kencang seperti itu. Mereka malah bisa melanjutkan tidurnya di atas tumpukan ransel kami. Saya mencoba untuk ikut melanjutkan tidur saya, tetapi kengerian terhadap ombak besar dan gelapnya laut dan langit malam membuat saya hanya bisa duduk kaku sambil memeluk life jacket. Mata saya tidak bisa melihat apa-apa kecuali beberapa titik bintang. Selebihnya hanya laut hitam dan langit gelap tanpa garis cakrawala yang jelas. Fear is a friend who’s accompanying me all the waves long.
          Ketakutan menemani saya selama dua jam hingga kapal berlabuh di pesisir pantai hitam. Matahari belum keluar dari sarangnya tetapi langit sudah mulai terang. Perlahan kegelapan memudar. Kami di angkut sampan kecil untuk menyebrang dari kapal ke pantai. And then… I saw it! The adorable and legendaries one: Son of Krakatau. It’s very sexy and masculine! God is great!

Subuh, hampir sampai di Pulau Anak Krakatau. 
 
          Saya melepas sepatu dan menjejakkan kaki saya di atas pasir hitam, merasakan bekas abu vulkanik di antara jari-jari kaki saya. Rasanya luar biasa! Feels awesome! Pasirnya masih terasa dingin dan halus. Saya dan teman-teman pun bersiap mendaki puncak Krakatau.
Pesisir pantai Anak Krakatau, pasir hitam membuat lautnya berwarna hitam.  

Kapal kami merapat ke pantai berpasir hitam. 

Tumbuh-tumbuhan di sekitar pantai. 

Anak Krakatau: The World Heritage Site and Natural Succession
          Kepulauan Krakatau terdiri dari Pulau Rakata atau Krakatau Besar (1400 ha), Pulau Panjang atau Krakatau kecil (320 ha), Pulau Sertung (1060 ha), dan Pulau Anak Krakatau (320 ha). Sampai saat ini, Anak Krakatau yang muncul tahun 1927 merupakan gunung berapi yang masih aktif. Secara administratif, Kepulauan Krakatau terletak di kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan (Provinsi Lampung di Sumatera). Tapi, pada kenyataannya mereka membentuk bagian dari Ujung Kulon - Krakatau National Park, yang diakui oleh UNESCO sebagai situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
Pada tahun 1990, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan mengadakan pengelolaan Cagar Alam Kepulauan Krakatau ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau Kantor Konservasi Sumber Daya Alam Lampung, di Sumatera, dengan tujuan untuk melindungi dan melestarikan kepulauan Krakatau sebagai situs konservasi yang penting bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan. Pada tahun yang sama cagar alam diperluas oleh Departemen Kehutanan dengan total area seperti yang ada sekarang.
          Pulau Anak Krakatau muncul sekitar tahun 1927 – 1929 dan kolonisasi jenis tumbuhan dan satwa baru berjalan beberapa puluh tahun terakhir (sekitar 75 tahun). Sementara proses kolonisasi flora dan fauna di pulau Rakata, Panjang dan Sertung sudah berjalan cukup lama, yaitu sejak pasca letusan 1883 hingga sekarang.
          Di pulau Anak Krakatau, daerah punggung gunung umumnya masih gundul karena suhu yang tinggi dan kekurangan air. Oleh sebab itu kita hanya akan menjumpai kolonisasi tumbuhan tak jauh dari pantai. Jenis tumbuhan pioneer seperti gelagah (Saccharum spontaneum) bersimbiosis dengan Azospirillum lippoferrum. Kemudian terjadi proses pelapukan pasir di bagian bawah yang telah ditumbuhi gelaga dan tumbuhlah jenis Melastoma affine dan jenis-jenis tumbuhan lainnya.
          Saat ini keanekaragaman flora di kepulauan Krakatau tercatat antara lain 206 Fungi, 13 jenis Lichenes, 61 jenis paku-pakuan (Pteridophyta), dan sekitar 257 jenis Spermatophyta.
          Sedangkan faunanya terdiri dari jenis mamalia seperti Rattus (tikus) dan Megaderma (kalong). Kelompok Aves  tercatat sekitar 40 jenis dari yang berukuran besar hingga yang berukuran kecil seperti Bubut Alang-Alang Jawa, Elang, Belibis, hingga kolibri. Kelompok reptilia yang menghuni pulau ini, selain biawak dan penyu, ada juga ular, baik yang berukuran besar seperti Sanca hingga yang berukuran relatif kecil.
Aves Coprimulgus offinis
Falco Severus 



No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)