Sunday, October 9, 2011

My Travel Notes: Krakatau (part 1)


Anak Krakatau: adorable journey to freedom
Anak Krakatau from the boat

Rasanya tidak bisa percaya saat itu saya berdiri di atas gunung pasir hitam, abu vulkanik dan belerang yang sudah mengkristal, mungkin sekitar 2 kilometer dari bibir kawah gunung anak Krakatau. Sempat merinding saat saya membelakangi punggung si anak Krakatau dan mendapati pemandangan yang menakjubkan; tentakel Batara Surya membuka jalan dari ufuk timur menyusul saya ke puncak. Kaki dan wajah saya yang sebelumnya terasa kelu karena angin dingin, perlahan tersapu kehangatan sang Batara Pagi. Laut, pesisir hitam, hutan pinus dan barisan pulau Krakata seperti bangun dari tidurnya. Saya sangat takjub dan tak bisa berhenti menutup mulut saya yang kerap menganga, “waaaaaaaaaaauuuuuuuuw… wuhuuu!that was my first extreme journey since I went out of my homey cage.

A Night to Remember
          I slept with him and can’t get my eyes off of his darkness beauty. Semalam saya habiskan penuh dengan keromantisan sepanjang selat Sunda. Bertolak dari pelabuhan Merak, menumpang kapal Ferry menuju pelabuhan Bakauheni. Saya bisa saja memilih menghabiskan satu malam perjalanan di kompartemen kelas 1 atau kabin nyaman ber-AC kelas 2. Jika ingin menjalin kehangatan bersama petualang lainnya saya bisa saja tinggal di kelas ekonomi yang sangat sederhana, sangat merakyat dan sangat rendah diri. Hangat dan akrab bersama aroma rokok yang ramah bersahabat.
But then I made a choice from my inquiry; what is it up there? Di samping dek kapal, saya melihat sebuah tangga melingkar dan berakhir dengan keingintahuan: tangga itu akan membawa saya kemana? Tanpa ragu-ragu, saya dan dua orang teman seperjalanan saya langsung menaiki tangga itu yang membawa kami menuju geladak teratas. Kami menyebutnya geladak kelas 1 karena bisa menyuguhkan kami pemandangan malam yang sangat memukau. Saya menempati satu bangku panjang di mana saya bisa merebahkan tubuh saya yang sudah sangat letih bekerja. Yes I was staring at him, the night, and it felt like he’s staring back at me. Afterwards, I fell in love to the dark sky and its stars. I fell in love to the night sea and its waves.
Dua jam sudah saya terombang-ambing di laut tanpa rasa mabuk atau paranoid yang biasanya saya alami. Kedua teman saya sudah jatuh terlelap tanpa menyaksikan sedikit pun kisah cinta dengan sang malam. Tapi perlahan gelombang yang semakin besar dan memaksa saya berdansa dengannya membuat saya muak. Jadilah saya berbaring telentang menatap mata langit. Dalam dan hitam. Ratusan bintang gemerlap membuai saya dengan alunan nina-bobo. Angin laut berhembus semakin kencang dan dingin tentunya, menyapu saya sesaat ke atas langit bertabur bintang yang tidak pernah bisa saya lihat dari teras rumah di Jakarta.
dawn at Bakauheni harbour




The Journey Begins
Kapal motor yang kami sewa
          Tuuuuuuuuuuuuttt! Kapal hampir merapat ke dermaga. Angin laut tidak lagi sehebat tadi malam dan kepergiannya lah yang membangunkan saya. Ternyata kedua teman saya sudah bangun dan sedang sibuk melipat sleeping bag mereka lalu mengabadikan momen; pelabuhan Bakauheni masih berselimut kabut tipis di balik kelambu pagi. Saya mengikuti rombongan perjalanan saya keluar dari kapal. Menjejakkan kaki di dermaga, membalikkan tubuh saya ke arah laut; pulau Jawa sudah tidak terlihat. “Good bye for a while my life in Java!
          Keluar dari pelabuhan, kami menyewa mobil angkutan umum untuk membawa kami menuju pantai Canti. Letaknya tak jauh dari Bakauheni, hanya sekitar satu jam. Beberapa teman lain naik bersama kami, sibuk melanjutkan tidurnya di dalam mobil yang melaju di atas jalan kecil nan mulus. Saya lebih memilih menyaksikan apa saja yang bisa dijangkau mata saya. Hamparan ilalang kering di kanan kiri jalan, lapangan kosong, pohon-pohon pisang, dan beberapa petak tanah yang menggosong sisa dibakar. Tak ada perkampungan yang mencolok, tak ada persawahan, tak ada gedung tinggi. Tidak ada kemacetan, tidak ada polusi berlebihan yang membuat langit menjadi abu-abu.
          Satu jam menikmati perjalanan darat, kami sampai di Pantai Canti dengan sebuah dermaga kecil yang akan mengantar kami menuju kapal motor yang telah disewa, menuju beberapa pulau dan akhirnya, Anak Krakatau. Saya sarapan di sebuah warung makan tepat di samping dermaga. Warung sederhana yang menyajikan keramahan sebagai tempat singgah sementara.

Angkat Jangkarnya, Kelasi!
          Saatnya saya berangkat memulai petualangannya saya dengan laut. Sebenarnya sejak kecil saya sangat takut berlayar di laut terlalu lama. Bukan hanya karena saya tidak bisa berenang atau takut tenggelam maupun kecelakaan yang mungkin terjadi, dan semacamnya. Tapi karena saya memang tidak mau mengakrabkan diri dengan dalamnya misteri laut yang tidak bisa saya lihat dari permukaan sejak kecil. Rasanya seperti terlalu berisiko. Saya tidak bisa menjangkau dasarnya yang mungkin gelap dan dingin. Sama seperti saat saya tidak bisa membaca hati seseorang, sangat penuh praduga dan misteri. Kecuali saya mau mengambil risiko berenang ke dasarnya dan menemukan rahasia yang karam di bawah sana. Ups, let’s leave the story behind.
          Teman saya memberikan sebuah jaket pelampung untuk saya pakai. Segera, kami naik ke atas kapal. Benar-benar di ATAS kapal, bukan di dalam. Matahari belum terlalu terik. Jadi, saya sangat menikmati saat kapal motor kami berdansa dengan ombak. Rasanya seperti berada di atas banana boat. Sangat seru! Saat itulah saya mencoba mengalahkan ketakutan saya terhadap laut lepas dengan tidak duduk diam di dalam kapal. Lagipula, sesuatu yang ekstrim jadi sangat menyenangkan selama saya bisa menjaga keselamatan diri.
          Satu jam bermain gelombang di atas kapal, lalu sampailah kami di Pulau Sebuku Kecil.
Pulau Sebuku Kecil
          Heaven shells! Pulau Sebuku Kecil adalah surganya bangkai koral dan cangkang kerang. Pasir putih dan benar-benar putih terhampar menyisir bibir pantai. Pantainya landai dan jernih. Sayangnya, ini bukan titik yang tepat untuk snorkeling karena yang saya lihat hanya pasir putih dan bangkai terumbu. Selain itu saya juga harus berhati-hati terhadap Bulu Babi. Ouch! seorang teman saya sempat menginjak bulu babi saat ia asik menjelajah ke perairan yang lebih dalam. Sambil berjalan menyusuri pantai, saya memunguti beberapa cangkang kerang yang agak besar dan masih putih warnanya. I can use it as decoration on coffee table. It’s free! Ps: Provided by nature.
          Puas bermain-main di pantai, menikmati sebagian keindahan gugusan pulau selat sunda, dan menemukan kedamaian batin, saya kembali naik ke kapal yang selanjutnya akan membawa saya ke snorkeling spot di dekat Pulau Sebuku Besar yang letaknya di seberang. Hanya lima belas menit dan kami sudah sampai. Siap terjun?
          “Hap, elo enggak akan loncat dari atas kapal kan?” tanya teman saya. Saya lalu mengangguk, “loncat dari atas kapal saja. Gue belum pernah loncat setinggi ini.”
          Once again, I made a choice from my inquiry. Saatnya untuk snorkeling dan saya berhasil terjun dari atap kapal ke laut. I coped with my fear and made it! Rasanya seperti mendarat di atas jelly yang akan membawa tubuh saya kembali ke atas permukaan. Mengerikan memang rasanya ketika jari kaki saya tidak bisa menyentuh dasar untuk berpijak. Pelampung saya menjaga saya tetap mengambang dan menikmati indahnya pemandangan bawah laut dari permukaan. Terumbu karang beraneka bentuk dan warna hidup di bawah laut. Ikan-ikan kecil warna-warni berenang-renang di sekitarnya dan sembunyi-sembunyi malu. Semakin dekat dengan pantai, semakin dangkal lautnya dan semakin besar risiko kaki kita menginjak terumbu karang baik sengaja atau pun tidak sengaja. Oleh sebab itu saya berusaha agar tetap berada di kedalaman minimal dua meter. Sebuah terumbu karang membutuhkan waktu 30 tahun untuk tumbuh sepanjang 1 centimeter. That’s too pity if my toes broke one coral reefs, there’ll be 30 years guilty feeling. Oh, no!


Pasir putih dan air jernih di Pulau Sebuku Kecil. Di seberang adalah Pulau Sebuku Besar

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)