Friday, December 7, 2012

Potensi dan Realita Ancaman Open Sky 2015


Saat ini salah satu sektor yang tengah berkembang pesat di Indonesia adalah sektor perhubungan udara. Industri angkutan udara di Indonesia sebagai sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, memang masih harus menunggu waktu untuk mengalami perkembangan besar-besaran. Terlebih lagi secara geografis letak Indonesia yang berada di sepanjang garis khatulistiwa dan tepat menghubungkan dua benua dan dua samudera sekaligus sangat menguntungkan. Keberadaan indonesia menjadi sangat strategis dalam berbagai aspek hubungan antar negara di dunia, terutama di wilayah pasifik. Lebih dari itu, pertumbuhan penumpang dan barang di sektor perhubungan udara tengah meningkat signifikan dalam 5 sampai 10 tahun terakhir. Mengacu kepada data yang ada di INACA (Indonesia National Air Carriers Association), pertumbuhan penumpang di Indonesia telah bergerak 12 hingga 15% per tahunnya. Sementara itu, khusus untuk International Airport Soekarno-Hatta yang dapat menampung 23 juta penumpang per tahun, ternyata di tahun 2011 terpaksa memfasilitasi 51,5 juta penumpang.

Sejak 10 tahun yang lalu telah direncanakan dan akan diberlakukan ASEAN Open Sky 2015. Belum banyak masyarakat yang tahu. Mungkin kita juga belum sadar dampak yang akan terjadi jika wilayah kedaulatan udara kita dibebaskan kepada negara lain untuk dikendalikan oleh mereka karena kita belum mampu mengatur keselamatan dunia penerbangan di atas wilayah teritorial NKRI.

Pertimbangan satu-satunya adanya ASEAN Open Sky 2015 adalah keuntungan yang akan didapat dari segi ekonomi. kebijakan Open Sky mampu menyumbang masukan PDB hingga 7 triliun Rupiah dan juga meningkatkan jumlah tenaga sebanyak 32.000 lapangan kerja baru untuk peningkatan perekonomian Indonesia pada tahun 2025. Kebijakan Open Sky yang diterapkan di Uni Eropa, Indonesia sebagai negara yang memiliki komitmen terhadap kebijakan WTO (World Trade Organisation) yang menganut open sky policy, kemudian ikut mengakui dan merelakan membuka semua sektor transportasi udara untuk kepentingan dunia.

Open Sky Policy (Kebijakan Ruang Udara Terbuka) melalui "Roadmap for Integration of ASEAN Competitive Air Service Policy" telah ditindaklanjuti oleh Indonesia melalui pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pasal 90 tentang "penerbangan". Isinya, akan dibuka akses penerbangan bebas dari dan ke Indonesia yang dilakukan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral maupun multilateral, dengan mempertimbangkan kepentingan nasional (national interest). Sementara itu kita tahu bahwa teknologi kedirgantaraan saat ini dikuasai oleh dunia barat terutama negara-negara Eropa. Dan saat ini negara tetangga terdekat kita yang mampu menguasai teknologi kedirgantaraan seperti Australia, Singapore, Thailand, dan Malaysia.

Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia tidak memiliki bandara Internasional sebanyak di Indonesia. Namun perusahaan penerbangan mereka jauh lebih kuat dan lebih profesional dari Indonesia yang sudah memilik 26 bandara Internasional. Ditambah lagi, wilayah udara Indonesia sangatlah luas, tidak seperti wilayah udara di Eropa sehingga diperkirakan Indonesia akan menghadapi resiko yang lebih tinggi menjelang ASEAN Open Sky 2015.

Namun sangat disayangkan karena pada tahun 2007 hingga saat ini NKRI berada dalam kelompok negara yang mendapat penilaian kategori 2 dari FAA (Federal Aviation Administration) yang mengacu kepada standar keamanan terbang Internasional seperti yang telah ditentukan dalam regulasi ICAO (International Civil Aviation Organization). Masuknya Indonesia dalam kategori 2 menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memenuhi persyaratan minimum keamanan terbang internasional. selain itu, sarana dan prasarana dalam dunia penerbangan masih kurang. Hukum udara dan ruang angkasa yang pasti di Indonesia belum lengkap serta kurang siapnya operator yang berkualifikasi dalam mendukung kegiatan penerbangan. ini semua jika diabaikan dapat berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan yang cukup serius.

Dengan kondisi seperti itu, Indonesia malah harus berhadapan dengan Asean Single Aviation Market atau OPEN SKY 2015. Lalu bagaimana dan apa yang harus Indonesia lakukan agar tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga yang akan segera mendapatkan keuntungan besar dari pertumbuhan pasar angkutan udara yang kini tengah berkembang pesat?

Pertama, Indonesia harus keluar terlebih dahulu dari posisi kategori 2 penilaian FAA. Agak memalukan mengetahui posisi Indonesia dalam hal industri penerbangan sejajar dengan negara-negara kecil seperti Guyana, Nauru, Serbia, Zimbabwe dan Congo.

Indonesia perlu memprioritaskan perubahan bentuk KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi). KNKT yang berada di bawah Menteri Perhubungan harus segera dibentuk dalam format yang baru serta tidak lagi bertanggung jawab kepada Menhub, akan tetapi bertanggung jawab kepada Presiden RI. Selain itu, perlu juga dibentuk sebuah lembaga yang belum pernah ada sebelumnya yang berfungsi menjatuhkan hukuman atau penalti setelah memproses hasil pekerjaan KNKT yang menunjuk pihak yang seharusnya bertanggungjawab.

Pengaturan lalu lintas udara atau ATC (Air Traffic Control) juga perlu diperbaiki agar kinerjanya dapat memenuhi syarat minimum dari aspek keamanan terbang internasional. Hal ini bisa berdampak pada masalah yang lebih serius, yaitu kedaulatan NKRI di udara.

Pengaturan Air Traffic Flow Management System dapat mengusik kedaulatan dan kehormatan republik Indonesia sebagai bangsa. Masalahnya, bila Indonesia dianggap tidak memiliki kemampuan yang setara dengan persyaratan keamanan terbang internasional, seperti yang telah ditetapkan oleh ICAO, maka wewenang pengaturan lalu lintas udara di atas kawasan wilayah kedaulatan RI akan diserahkan kepada Negara lain yang sudah lebih siap. Dalam hal ini, ICAO telah menunjuk Thailand, Singapura dan Australia yang telah sejak lama mempersiapkan diri untuk dapat tampil sebagai pemegang peran sentral dalam pengaturan lalu lintas udara di kawasan regionalnya.

Bila kurang berhati-hati dalam menangani masalah tersebut, maka indonesia akan berhadpan pada situasi yang fatal dalam pengelolaan kawasan udara kedaulatannya. Meskipun dalam Konvensi Chicago 1944 dikatakan bahwa setiap negara berdaulat penuh di kawasan udaranya secara komplit dan eksklusif, tetap saja atas nama keamanan terbang, wewenang dalam mengatur lalu lintas udara dapat didelegasikan kepada negara yang memiliki kemampuan mengelola sesuai standar keamanan terbang internasional. Tidak hanya itu, dalam aspek pertahanan negara, pengelolaan sistem pertahanan udara nasional akan berhadapan dengan banyak kendala terutama dalam mengawasi daerah rawan perbatasan udara dengan banyak negara lain di teritori milik sendiri. Disinilah peran pemerintah RI sangat diperlukan dalam mengatasi kemungkinan buruk yang bisa terjadi ke depan. Tentu saja akan sangat tragis jika hal tersebut sampai terjadi.

Source: Seminar Kajian Intelijen Stratejik Universitas Indonesia