Wednesday, June 30, 2010

Language

Gender dalam Bahasa Indonesia 
disampaikan oleh Hein Steinhauer dalam kuliah umum Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia


Dalam sebuah kuliah umum, Hein menjelaskan tentang penggunaan kata-kata yang mengandung gender baik dalam bahasa Indonesia dan perbandingan contohnya dengan sistem kata ber-gender dalam bahasa asing. Menurut saya, sistem bahasa suatu daerah atau negara sangat erat kaitannya dengan kultus budaya yang dianut dan dipahami masyarakatnya. Namun Hein hanya menjelaskan faktor penyebab penggunaan gender dalam bahasa dari segi semiotik dan linguistiknya saja.


Dalam bahasa asing, misalnya bahasa Belanda, sebuah kata dilansir memiliki jenis kelamin. Dengan penggunaan kata sandang “de” atau “het”, artinya telah mendikotomikan sebuah kata untuk memiliki gender. Namun yang menjadi pertanyaan saya sesudahnya adalah: jika kata-kata yang menggunakan kata sandang tersebut diubah ke dalam bentuk pronomina/kata ganti orang ketiga, mengapa pronomina yang tersedia hanya sebatas “hij” (maskulin) dan “het” (netral)? Sepanjang apa yang saya pelajari dalam bahasa Belanda, tidak ada kata ganti “haar” (feminin) untuk pronomina berkata sandang “de/het”. Saya menyimpulkan bahwa dalam bahasa Belanda pun masih terdapat ketidaksetaraan gender. Hein mengungkapkan bahwa beliau juga tidak mengetahui apa sebabnya kata ganti feminin tidak dipakai atau digunakan. Hein mengatakan sulit untuk mengetahui apakah sebuah benda itu maskulin atau feminin baik dari bentuk fisik maupun makna.


Dalam bahasa Indonesia sendiri, menurut saya, penggunaan gender maskulin dan feminin sangat mudah dipahami dan dilihat. Penggunaan kata sapa untuk perempuan (ibu, nyonya, nona, mbak, dsb) sangat berbeda dengan penggunaan kata sapa laki-laki (bapak, tuan, mas, dsb). Bahasa Indonesia menggunakan perumpamaan ibu atau perempuan untuk idiom-idiom tertentu, contohnya ibu jari, ibu kota dan ibu pertiwi. Ibu jari artinya jempol/jari yang paling besar, ibu kota artinya kota terbesar/terpusat dari suatu daerah, dan ibu pertiwi artinya negeri/tanah air. Mengapa yang digunakan adalah kata feminin (secara makna) dan bukannya kata maskulin (ayah jari, bapak kota, bapak pertiwi)? Ternyata penggunaan kata “ibu” dalam tiga contoh tadi disebabkan karena pemuliaan perempuan dalam masyarakat. “Ibu” dianggap sosok yang mulia, besar, mengayomi dan memang karakternya sesuai untuk tiga makna tadi. Jadi, penggunaan kata feminin untuk ketiga frase di atas disesuaikan dengan sifat dan ciri dari “ibu”.


Jika idiom yang menggunakan kata feminin seperti yang disebutkan di atas berdasarkan sifat dan ciri karakternya, maka berbeda dengan frase yang menggunakan kata maskulin. Contohnya, bapak pembangunan, bapak koperasi dan bapak negara. Kata “bapak” digunakan tidak untuk mewakili makna yang tersirat melainkan tersurat, baik secara ciri fisik ataupun karakter. Inilah yang membedakan penggunaan gender kata dalam berbahasa. Saya menyimpulkan kata feminin lebih sering digunakan untuk idiom atau ungkapan, sedangkan kata maskulin digunakan untuk makna yang tersurat.


Saya melihat penggunaan perbedaan gender dalam kata/frase/idiom bahasa Indonesia tidak sekental/mutlak seperti dalam bahasa asing lain, yakni Belanda, Rusia, Swahili, Jerman dan Perancis. Sepertinya bahasa Indonesia masih lebih menerima perbedaan itu walau terkadang masih menggunakan kata feminin untuk suatu ungkapan. Mungkin itu merupakan suatu penghormatan untuk sosok perempuan atau memang kata feminin tersebut lebih dekat dengan masyarakat dan budayanya.


-19 November 2009-

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)