Friday, June 25, 2010

Verhaaltje (2)

Sang Pelukis Senyum

”Tersenyum yang manis, biar dunia lari ke sinar cerah,” [Naif]



Api menari-nari pada sumbu hio, mendalang bayang-bayang genting pada dinding kayu tak berpelitur. Sesekali angin ikut memainkannya, membuatnya meliuk melikuk kikuk bersama debu lalu dan tergelitik.

”Hatchuuuu!”

Bersin Kim baru saja membuyarkan lamunanku. Aroma dupa yang dibakar merasuki hidungku. Aku menatap ke arah Kim. Udara tidak cukup dingin untuk meletuskan sebuah bersin dari pangkal hidungnya. Namun dalam semburat cahaya siang, debu terlihat menggerayang di sekelilingnya.

Kim berdiri geming, hening menyayupi. Dia merapatkan kedua telapak tangannya dan menempelkan ujung-ujung jarinya ke bibirnya yang tipis. Kepalanya menunduk dan matanya tetap terpejam. Sesekali dia berdengum panjang, ”Oooooooom....”

Aku selalu bisa menemukan Kim di situ, vihara kecil di sudut jalan pecinan yang selalu sepi. Sebuah sungai meretas usia di depannya, menjadi teman bagi kuil yang hampir ditinggalkan.

Ya, saat aku tak bisa menemukannya berjaga bersama Encik Mai di kedai mie seberang sungai, aku tahu dia pasti sedang menenangkan diri dalam sembahyang.

Kim menengadahkan kepalanya dan membuka matanya, menatap sebuah patung porselen yang dua kali lebih tinggi darinya. Aku tidak tahu dewa apa yang berdiri dihadapannya; laki-laki berjanggut panjang dengan kelopak mata berwarna merah. Bibirnya yang juga merah mengulas senyum. Jubah kuning dengan benang-benang emas menyelimuti kemegahannya. Seorang dewa kaya raya yang sangat ramah, pikirku.

Kim mengusap wajahnya dengan tangan-tangannya yang terbuka. Dia mengakhiri doanya dan berbalik sembari kaget melihatku.

”Aku selalu tahu tempat pelarianmu saat kau menemui jalan buntu, Kim,” mulaiku.

Kim hanya tersenyum dan hampir melenyapkan sekelumit mata yang tersisa dari wajah kuningnya.

”Jangan melempar senyum kepadaku, aku tahu kau sedang tidak bisa melakukan itu,” tukasku.

Lagi-lagi Kim tersenyum.

”Mengapa kau selalu saja marah, To?” tanyanya dengan nada sabar.

Sejujurnya aku tidak marah. Aku hanya merasa tertekan. Bagaimana kau bisa merasa tenang ketika sebuah masalah besar sedang bermain-main dalam hidupmu, Kim? Dan dia hanya tersenyum menghadapinya. Itulah yang kusuka darinya, Kim sangat sabar dan berhati lapang. Dia tidak pernah menangis. Tapi itulah yang kutakutkan darinya, pribadi yang terlalu kuat hati.

Sekali saja dalam hidupmu, menangislah di pundakku. Akan kuberikan pundakku yang terlalu lapang ini untuk menjadi sandaran kepalamu dan resapan air matamu. Menangislah, sebagai tanda kau manusia biasa sepertiku. Menangislah, Kim! Aku tahu masalah yang kau hadapi sangat pelik dan rumit, pasti kau ingin berteriak, berlari ke tempat sempit dan gelap, lalu mengejar kencang hingga habis suaramu, lalu akhirnya kau pun menangis.

”Tidak, semua akan baik-baik saja, To. Kau harus yakin. Cepat atau lambat aku pasti akan bisa keluar dari labirin ini. Berusahalah untuk tetap hidup dan percaya.”

”Masih ingat kisah pewayangan yang kau ceritakan itu?” lanjutnya pelan. ”Masalahku ini belum seberapa dengan apa yang telah dialami oleh Drupadi. Setidaknya aku tidak ditelanjangi bulat-bulat. Aku hanya dipermalukan dengan celaan dan tuduhan yang keluar dari lidah-lidah bercabang yang terus mendesis. Bukan harga diriku yang dicarut, hanya sebuah nama yang melekat sejak lahir.”

Oh, aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan wataknya. Entah aku harus berkata apa, atau memikirkan apa.



Kim selalu menjadi pelukis senyumku saat aku lupa bagaimana caranya tersenyum, saat aku tidak tahu untuk apa aku tersenyum atau mati rasa untuk merasakan sebuah senyuman. Sedangkan Kim yang selalu tersenyum, nampaknya tak butuh seorang pelukis senyum. Garis lengkung yang indah selalu menyimpul pada bibirnya, membentuk sebuah senyuman yang bisa mengobati hati yang terluka. Sebelum aku tersenyum, dia sudah tersenyum terlebih dulu. Lagipula, siapa yang bisa menjadi pelukis senyum bagi seorang pelukis senyum?

”Yakin kau tidak ingin menangis, Kim?”

Kim menggeleng pelan dan tersenyum, ”Aku masih kuat.”

Aku menggenggam tangannya yang dingin. Sekali lagi Kim telah melukis sebuah senyum yang tadinya tidak ingin kutunjukkan. Tapi karena dia, aku tersenyum untuk sebuah harapan.



***



Nafasku terengah-engah. Seperti dugaanku, aku pasti bisa menemukan Kim di dalam vihara di seberang kedai mie milik Encik Mai.

”Kim, kau memenangkan perkara ini!” teriakku senang.

Aku menghampiri Kim dan dia langsung memelukku erat. Di wajahnya tergurat rona bahagia dan puas. Aku balas memeluknya dan tinggiku membuatnya sedikit terangkat dari tanah.

Kali itu adalah pertama kalinya aku melihat Kim menangis sambil tersenyum. Apakah akhir dari masalahnya yang telah membuat dia menangis haru atau aku terlalu erat memeluknya hingga dia kesakitan?

Aku melihat ada danau di mata Kim. Sekelumit mata sipit dengan sedikit bulu yang menjulang di tepinya memantulkan binar langit. Bendungannya luber dan membanjiri pipi gembil yang merona merah.

Kim menangis dengan senyum yang perlahan pudar. Garis bibir yang melengkung perlahan mencembung, dan senyumnya pun lenyap. Rasa khawatir menjalari romaku. Tangis Kim makin lama makin besar. Aku memeluknya semakin erat, berharap dia tenang dan membiarkan kemejaku menjadi asin. Kim tersengguk-sengguk. Aku membawanya duduk dan menyandarkan kepalanya ke bahuku.

”Aku sudah tidak bisa lagi menjadi kuat,” ucapnya lirih. ”Tidak bisa,” ulangnya.

Aku menepuk-nepuk pundaknya, membelai rambutnya yang sangat halus, dan tidak menghentikan tangisannya. ”Teruslah menangis,” kataku. ”Sampai kau tidak bisa menangis lagi.”



***



Aroma dupa memenuhi ruangan. Api-api pada sumbu-sumbu hio bertapa tanpa seruan: ”Oooooooom....”. Mengingat pertemuan terakhir dengan Kim selalu membuatku menitikkan air mata dan mengguratkan senyum.

”Lihat sekarang siapa yang menjadi pelukis senyum?” goda Kim kala itu setelah menangis. ”Kau salah Darto jika menganggap seorang pelukis senyum tak butuh pelukis lain untuk melukis dirinya.” Kim bersandar lunglai di bahuku. Tangannya semakin dingin. Rona merah di pipinya memudar. ”Kau adalah pelukis senyumku,” lanjut Kim. Lalu dia memejamkan matanya dan tertidur dalam damai pertapaan. Hingga saat ini, Kim tak pernah lagi terbangun.


27/3/2010, 03:08
Saat malam menjamah nadir

-Hippolyta-

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)