Friday, June 25, 2010

Verhaaltje

Sebuah Pertemuan Saat Gerimis Abu 


Langit semakin kelabu. Kepalaku bersandar pada kaca bis yang dipenuhi bulir-bulir air hujan. Aku sedang menempuh perjalanan menuju sebuah desa terpencil, tempat tinggal seorang dukun aborsi yang sangat tersohor.

Keputusanku sudah bulat. Perutku mulai terlihat besar. Kehamilanku sudah memasuki usia dua bulan. Sebenarnya, kehamilan ini tidak pernah aku inginkan. Aku melakukannya dengan pacarku. Jelas kami mengakui, melakukan itu atas dasar suka sama suka. Tetapi setelah semua kenistaan itu terjadi, dia tidak bisa kuhubungi. Berminggu-minggu dia tidak pernah mengabariku lagi. Dia seolah-olah menghilang ditelan bumi. Semua janjinya untuk mempertangungjawabkan apa yang telah kami perbuat, hanyalah sebuah bayangan tak bertuan. Perlahan semua harapan dan cinta yang kuberikan kepadanya berubah menjadi keputusasaan dan kebencian yang keruh. Tidak ada lagi hasrat di diriku. Aku sangat membencinya dan akan mengubur semua cinta dan kenangan tentangnya, termasuk jabang bayi di rahimku ini.

Gerimis menemani perjalananku. Langit abu-abu terbingkai oleh kaca jendela bis. Bis antarkota yang kutumpangi berhenti di sebuah terminal. Aku memperhatikan para penumpang yang telah mengantri di depan pintu bis. Satu per satu mereka masuk dan menempati kursi yang kosong. Kursi di sampingku masih kosong.

Tak lama seorang ibu separuh baya duduk di sampingku. Dipelukannya tertidur seorang balita yang usianya mungkin masih sekitar dua tahun. Gadis kecil itu tidur dengan sangat pulas. Tangannya yang mungil mendekap boneka teddy bear ke dadanya. Pipinya merona merah akibat udara dingin. Ibunya terlihat kesulitan mengangkat tas bawaannya ke dalam kabin bis. Aku bangun dan membantu ibu itu. Kumasukkan tasnya ke dalam bagasi dan mempersilakannya duduk.

“Terima kasih, De,” katanya tersenyum.

“Sama-sama, Bu,” balasku dengan senyum.

Ibu itu duduk. Kini kursi penumpang yang kutempati menjadi lebih sempit dari sebelumnya karena antara aku dan ibu itu terdapat tas bayi miliknya. Namun bagiku itu tidak masalah. Toh sebentar lagi aku akan turun di tempat tujuan.

“Maaf ya, De, kalau jadi sempit,” kata ibu itu tiba-tiba.

“Oh, nggak kok, Bu. Sama sekali nggak sempit,” balasku dengan penuh keramahan. Batinku tersentak, bagaimana dia tahu kalau aku sebenarnya merasa sedikit lebih sempit dari sebelumnya?

“Turunnya di mana, De?” tanyanya.

“Ehm, sebentar lagi, Bu. Tinggal dua terminal lagi dari sini. Kalau ibu turun di mana?”

“Saya mau ke Solo. Nganterin si kecil ketemu kakeknya.” Ibu itu menunjuk gadis kecil itu dengan dagunya.

Aku memperhatikan detail wajah ibu itu. Meskipun sudah banyak kerutan di wajahnya, parasnya masih nampak lembut bagiku. Senyumnya ikhlas dan suaranya sangat lembut. Rambutnya sudah sedikit beruban. Dalam hati aku mencoba mereka-reka usia ibu itu. Mungkin sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Dengan usia segitu, tidak mungkin bocah yang sekarang mendekap di pelukannya adalah anaknya.

Pasti cucunya, kan tadi dia bilang mau mengantar si kecil ke kakeknya.

Anak itu kemudian menggeliat kecil, namun masih terlelap.

“Dingin ya, nak?” ucap ibu itu kepada “cucunya” dan merapatkan jaket yang melekat di tubuh si mungil.

“Cucu ibu umurnya berapa?” tanyanku.

Ibu itu tertawa kecil.

“Ini anak saya, De. Umurnya udah mau dua tahun.”

“Oh, maaf, Bu. Saya pikir cucu ibu.”

“Nggak apa-apa kok, De. Banyak orang yang menyangka dia adalah cucu saya. Usia saya sudah kepala empat tapi baru dikaruniai anak dua tahun yang lalu.”

“Maaf kalau saya sudah bikin ibu tersinggung.”

“Oh, tidak apa-apa, De. Saya senang bisa berbagi cerita dengan Ade sepanjang perjalanan ini. Daripada melamun.”

“Hehe…”

“Saya menikah dengan suami saya waktu umur saya dua puluh delapan tahun. Tadinya saya bekerja di perusahaan ternama dan sangat menikmati pekerjaan saya. Tapi karena saya dan suami mau cepat-cepat punya keturunan, saya berhenti dari pekerjaan saya. Setelah kami menunggu-nunggu, di rahim saya belum ada juga tanda-tanda, De. Sedih sekali. Saya pikir mungkin memang belum waktunya. Sampai saya ikut banyak terapi, tapi belum berhasil juga. Sampai akhirnya waktu tidak terasa sudah berlalu dua belas tahun. Tadinya saya pikir mungkin memang ada kelainan di rahim saya yang tidak memungkinkan adanya pertumbuhan janin.”

“Kenapa begitu, Bu?”

“Karena dulu saya pernah operasi pengangkatan kista rahim.”

“Oh. Ibu kan sangat ingin sekali punya anak. Kenapa tidak coba adopsi anak saja, Bu?”

“Yang saya inginkan adalah anak keturunan saya, penerus saya, pewaris saya. Mungkin saya terlalu idealis, tetapi menurut saya anak-anak di panti asuhan itu bukan tanggung jawab saya. Memang terdengar egois. Jika mereka dibuang oleh orang tua yang tidak menginginkan mereka, itu adalah tanggung jawab orang itu. Bagaimana kalau kejadiannya saya sudah terlanjur sayang dengan anak adopsi saya dan tiba-tiba suatu hari datang ibunya memohon-mohon pada saya, meminta kembali anak yang pernah disia-siakan kemudian bilang bahwa dia sangat menyesali perbuatannya. Seperti yang sering kita lihat di reality show. Itu akan sangat lebih menyakitkan, De.”

Mendengar perkataan ibu itu, pandanganku bergidik sesaat ke luar jendela. Aku tidak tahu apakah topik pembicaraan ini tepat atau tidak. Aku kurang menyukai arah pembicaraan ini. Semua cerita dan perkataannya membuat jantungku berdegup semakin kencang. Bahkan aku takut dia bisa mendengar detaknya di tengah deru mesin di bawah kami. Kemudian aku sadar bahwa aku sedang diombang-ambing kegalauan.

Satu terminal sudah terlewati. Aku tinggal menunggu satu terminal lagi dan perjalananku dengan bis itu akan berakhir. Kebencian dan rasa maluku juga akan berakhir di sana.

“Ade, mau liburan?” tanya ibu itu melanjutkan.

Deg!

Jantungku seakan terpaku oleh pertanyaannya. Hidungku pun tidak bisa merasakan tarikan napas. Tenggorokanku seolah menjadi gersang.

“Ehm, saya mau… tidak… bukan liburan, hanya mengunjungi teman lama.”

“Oh… Masih kuliah atau sudah kerja?”

“Sudah kerja, Bu.”

“Sudah menikah?”

“Ehm, belum. Hehehe.”

“Berarti punya pacar dong? Masa gadis secantik Ade belum punya pacar?” ibu itu bertanya dengan nada menggoda. Pertanyaannya sangat menggangguku. Namun aku tidak melihat maksud tidak baik di matanya. Ini hanyalah sekadar obrolan kacangan untuk menemani perjalananku dan dia.

“Haha, Ibu bisa aja. Saya udah nggak ada pacar lagi kok, Bu.”

“Hehehe. Saya doakan Ade cepat dapat pacar yang baik, yang bertanggung jawab dan pengertian. Ketika sudah nikah nanti, cepat punya anak. Hehehe. Itu kan harapan semua perempuan untuk menjadi wanita seutuhnya.”

Perasaanku semakin tak bisa kupilah. Di sebagian diriku, aku bisa merasakan kemarahan karena singgungan ibu itu. Tapi di sebagian diriku yang lain, aku merasakan kakalutan menyelimuti. Hatiku teriris kemirisan.

Dia tidak tahu. Tidak ada yang tahu. Bahkan orang tuaku pun tidak tahu. Memang aku belum menikah, tapi aku sedang mengandung. Aku hamil dan jabang bayi yang ada di rahimku ini adalah anak dari laki-laki bajingan pengecut dan brengsek! Laki-laki yang hanya ingin menikmati tubuhku sesaat dan menjadikan aku sebagai objek seksual semata.

Keadaan sudah kembali tenang. Entah pikiran apa yang memengaruhiku, aku memberanikan diri menanyakan hal yang selama ini kusebut keputusan.

“Bu, boleh saya tanya sesuatu?”

“Iya, tentu saja boleh selama saya bisa jawab.”

“Bagaimana kalau seandainya ibu… atau saudara… atau teman ibu…ehm… hamil di luar nikah? Sedangkan kalian atau mereka tidak menginginkan anak itu, karena takut menanggung malu?”

“Ehm, susah juga ya… kalau saya sih, sebisa mungkin menghindari hamil di luar nikah, tidak melakukan hubungan sebelum saatnya. Tapi toh kalau pun itu tidak terhindari juga, ya saya akan tetap mempertahankan anak itu, meski tanpa ayah.”

Aku diam, masih berharap ada kalimat lain yang diucapkannya.

“Yang jelas, saya tidak akan aborsi. Itu perbuatan yang terkutuk, De. Bayangkan jika Ade melihat ke posisi orang-orang yang sangat menginginkan anak tapi tidak bisa. Ya… yang seperti saya ini. Saya harus menunggu dua belas tahun untuk punya anak, lho! Di luar sana, saya yakin ada banyak perempuan seperti saya. Makanya, sayang sekali kalau harus membuang-buang karunia Tuhan padahal untuk membuat anak lagi belum tentu bisa langsung jadi. Saya sendiri heran… kenapa ada saja orang yang melakukan aborsi padahal ada banyak pasangan yang susah punya keturunan. Kalau mereka malu, ya itu toh akibat yang harus mereka pertanggungjawabkan dari perbuatan mereka. Bukan dengan cara menukar nyawa bayi yang berharap dilahirkan ke dunia ini dengan kenistaan seperti itu.”

“…”

“Kenapa Ade tanya begitu?”

“Ehm, nggak, Bu. Ada teman saya yang punya masalah seperti itu.”

Bohong Besar! Yang mengalami masalah itu bukan teman, tapi aku. Benar. Seharusnya aku berpikir, banyak orang yang tidak bisa punya anak, tapi sangat menginginkan anak. Bahkan mereka rela melakukan apa saja untuk mendaparkan keturunan. Sedangkan aku malah akan pergi ke dukun beranak dan menghancurkan janinku.

“Bisa minta tolong sebentar? Tolong pangku anak saya sebentar. Saya mau ambil botol susunya di tas kabin.” Ibu itu menyerahkan anaknya dan tersandar di pangkuanku. Tanganku mengambil posisi yang nyaman untuk anak itu. Satu tanganku merangkul lehernya, dan satu tangan yang lain menepuk-nepuk pahanya yang gempal dengan lembut.

Hatiku membatin. Beginikah rasanya menimang seorang anak? Entah bagaimana, tapi aku merasakan kehangatan saat sedang memangku anak ini… dia seperti memberikan kedamaian. Bunga senyumnya menghiasi wajah mungilnya saat tidur. Sangat damai dan hangat…

Ada yang salah denganku. Aku tidak pernah menyadari bahwa aku terlalu egois. Aku telah dibutakan oleh kebencian akibat cinta. Aku tidak pernah mau mempertanggungjawabkan kesalahanku dan selalu lari dari masalahku. Aku putus asa dan tenggelam di dasarnya. Aku hina dan akan lebih hina jika aku tidak mengubah keputusanku. Aku terlalu angkuh dan yakin bahwa aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Ternyata aku salah.

Salah.



***



Bis sudah sampai di terminal yang aku tunggu. Aku turun dan menjejakkan kakiku di tanah yang basah. Aroma tanah basah menjelajahi relung kosong di paru-paruku. Aku berdiri di samping bis, berjalan menyusuri jendela bis yang panjang, menuju tempat aku duduk tadi.

Di sana aku melihat bayangan diriku tertinggal. Anak kecil itu sudah bangun dan melambaikan tangannya kepadaku. Ibunya juga memberikan senyum yang penuh dengan keramahan. Mesin diesel menderu. Bis melanjutkan kembali perjalanannya. Kami terus melambaikan tangan. Udara dingin menyadarkanku, setetes air mata membeku di pipiku. “Terima kasih!” teriakku. Bis itu semakin jauh, ibu dan anaknya juga semakin menghilang dari pandanganku.

Aku berbalik, mengamati terminal yang sepi karena gerimis abu. Kemudian aku melangkahkan kakiku mantap ke salah satu deretan bis yang harus kunaiki berikutnya.

“Ke Jakarta, Bang?” tanyaku.

“Iya, Neng! Yok, Jakarta, Jakarta! Terminal Kampung Rambutan, Pinang Ranti, Pulo gadung! Jakarta!” seru kondektur bis.

Aku duduk dekat jendela. Gerimis abu terlihat cerah bagiku. Lagi-lagi air mata turun ke pipiku. Aku menekuk leherku dan tersenyum. Aku mengelus-elus perutku seraya berkata, “Maaf ya, Nak. Hampir saja Bunda kehilangan kamu.”

-Depok 2009-

No comments:

Post a Comment

Let me know what you think about it? Feel free to write comment :)